Resensi; Max Havelaar

Bisakah saya menikah dengan sebuah buku? Pertanyaan yang terdengar sangat lebay, hahaha, bahkan sampai ke tingkat dewa memang, tapi bisa kah? Ini mungkin ekspresi yang paling tepat ketika saya menemukan novel Max Havelarnya Multatuli. Sebuah kisah klasik yang tak akan pernah mati. Saya selalu suka yang klasik, klasik itu abadi. Lainnya karena deskripsi yang jauh lebih dalam, juga nilai moral yang terjaga. Membaca kisah klasik yang lain juga tak pernah membuat perasaan ini muncul, ya perasaan seperti jatuh cinta, sebuah perasaan “sangat mengemari”. Walaupun saya memang belum punya banyak pengalaman dalam membaca karya sastra klasik.




Novel ini sendiri dalam perjalanannya punya sejarah yang begitu penting bagi Indonesia. Masih ingat politik balas budi Belanda? Ya, setelah lama terkungkung dalam penindasan dan pemerasan berkepanjangan, akhirnya ada sedikit rasa iba untuk memberikan sedikit dari hak yang harusnya dimiliki oleh bangsa ini. Pendidikan itu jua lah yang akhirnya memicu munculnya kaum terpelajar.

Saya memang belum selesai untuk membacanya, namun sudah begitu terkagum dengan gaya tutur yang digunakan penulis. Ini adalah cerita berbingkai, cerita di dalam cerita. Sudut pandangnya pun terbagi menjadi dua, seorang Belanda yang konvensional dan seorang Belanda dari kelas menengah. Variasi ini membuat jelasnya deskripsi masing-masing watak. Bahkan saya menemukan penjelasan tentang watak tokoh utama sepanjang 3 halaman, yang langsung saja dipaparkan dalam bahasa yang lugas. Tapi, anehnya tidak juga membuat bosan. 

Tentunya bahasa yang digunakan jelas tak lagi sama 100% dikala awal terbitnya. Apalagi, yang saya miliki ini adalah versi terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Tapi, tetap saja. Terutama ada sebuah puisi indah yg punya kesan begitu mendalam bagi para perantau, sentimentil pribadi J. Kutipan puisi itu sebagai berikut.

                                O Bunda tersayang, jauh ‘ku dari rumah,
                                Tanah tempatku terlahir:
                                Gundah dan putus asa ‘ku berkelana,
                                Seorang asing menapak bumi.

                                Di rumah itulah air mata bening
                                Pertama kali menggenangi mataku,
                                Tangan lembutmu menghalau ketakutanku:
                                Cinta ibu tak kunjung padam!

Di sanalah kau setia mengawasiku
Bocah kecilmu yang tak berdaya,
Menuntun langkah pertamaku,
Dengan kata dan tatapan lembut.

Tapi takdir meretas ikatan
Yang menyatukan kita;
Dan kini di tanah asing
Hanya Tuhan bersamaku!

Cintamu, Bunda tersayang,
Bertahan dalam suka dan duka,
Terus bergelora memenuhi
Hati putra tercintamu.
...

Sebuah puisi yang tanpa banyak kiasan, sebuah puisi yang lugas, yang isinya dapat mudah dipahami.
Okay, saya mau melanjutkan membaca Max lagi, siapa tahu ntar ada yang bisa diceritain lagi.

No comments:

Post a Comment

Resensi Fortunately The Milk Karya Neil Gaiman

Buku cerita anak yang saya baca ini merupakan terbitan Gramedia pada tahun 2014. Karya Neil Gaiman yang diterbitkan pertama kali pada tahun ...