Cerbung: Pulanglah (3)

Ia mencari suaminya. Beliau mendapat beasiswa kedokteran di Jerman. Sudah setahun suaminya itu mengambil spesialis bedah. Baru setahun itu juga semua persiapan mulai matang untuk kepindahan si istri. Kontak terakhir, di saat ada waktu senggang libur, Suaminya ikut sebagai volunter saat virus ebola menjangkit di Afrika. Tak ada yang tahu kemana jejaknya, pihak kedutaan, pihak kepolisian, pihak kampus, pihak NGO yang turut berangkat ke Afrika. Maka, jalan terakhir ialah mencari sendiri.

Sumber Foto: gorongosa.org

“Ini fotonya, tolong bantu saya ya.” Ia menjulurkan sebuah foto padaku. Itu foto pernikahan mereka. Pasangan yang manis. “Saya tidak tahu apa yang tejadi dengannya, Afrika ini begitu banyak daerah konflik, resiko lainnya juga. Mungkin dia juga marah kepada saya karena kehilangan anak kami waktu saya mengandung. Kami telah saling berjanji, akan saya jaga pernikahan ini sampai ikhtiar penuh. Saya harus tau apa sebenarnya alasan dia menghilang.” Kubalik foto itu, ada sebuah puisi di sana. 
            
Kepada siapa kan ku labuhkan rindu?
Ketika awan telah berat menampung hujan
Matahari telah malu bersembunyi di ufuk barat
Kepada siapa kan ku bagi cerita?
Saat liukan jalan telah bertemu ujung
Dan ombak berhenti berdebur
Pulanglah...  Kan Ku Hidangkan Sepiring Cinta Untukmu

“Sini biar ku lihat.” Lucy menjulurkan tangannya. “Jangan khawatir kami akan membantumu.” Alex mengeluarkan smartphone, kemudian menjepret foto di tangan istrinya. “Apa ini?”
“That is poem.” Darwin juga mengeluarkan kameranya. Foto itu bergilir dari satu tangan ke tangan lain. Juga blicth yang menyambar berkilatan.
“Bacakan puisinya untuk kami” Lucy meminta, ketika foto itu telah sampai ke tangan Cipto, ia menerjemahkan untuk semua teman kami ke dalam bahasa Inggris. Keadaan begitu khidmat.

            Saat itu tampak Scot datang dari jauh. Ia juga teman komunitas online backpaker. Kami bertemu dengannya bersamaan dengan Darwin. Tapi ia memutuskan untuk bepergian sendiri karena tujuan kami berbeda. Aku khawatir padanya, karena dengan posturrnya yang bisa dibilang ceking, ia selalu tampak terhuyung-huyung membawa tas punggung. Aku juga jadi ingat tragedi seorang pengelana yang mati kelaparan di alam bebas.  Ia memberikan anggukan sebagai isyarat sapaan pada kami yang tampak begitu tenang. Scot duduk di samping Alex, tampang penasarannya begitu ganjil menurutku, dengan mata melotot ke arah Cipto dan mulut ternganga.
            Scot tampak berbisik kepada Alan, yang kemudian membalas dengan berbisik juga. Selanjutnya Alan mengeluarkan smarthphone dan memperlihatkan pada Scot. Bule asal USA itu tampak memperhatikan serius. Beberapa detik, ia tampak berpikir serius. Sesuatu yang jauh dari pribadi periangnya. 
“Aku pernah melihat pria ini.” Pernyataan Scot mengejukkan kami semua.
“Scot, ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda.” Darwin yang lebih mengenal pemuda itu, memperingatkannya.
“Tidak, aku tak pernah salah mengenali orang. Seminggu yang lalu, di kantor konservasi hewan, di Mozambique, Gorongosa National Park.”
            Mbak lekas membenahi slepeing bag yang telah terbentang. Mengibasnya dari debu dan mengulungnya kembali.
“Mbak mau berangkat sekarang?” Aku bertanya spontan.
“Iya” jawabannya singkat
Gak nunggu besok pagi aja?” aku bertanya kembali.
“Saya bisa kehilangan jejaknya lagi, kalau benar itu dia.”
“Kami ikut mbak, bahaya di luar sana buat mbak.” Cipto telah spontan berdiri sambil menepuk-nepuk pundakku, bentuk ajakannya.
“Terima kasih tapi saya sudah 3 tahun di Benua Hitam ini sebagai backpaker, apalagi yang harus saya khawatirkan.” Si Mbak tersenyum lagi, sambil berlalu pergi. Begitu cepat pertemuan kami. Sepeninggalannya, kami tertegun beberapa menit.   
“Besok kita ke Mozambique.” Cipto berujar sambil tak lepas menatap api unggun.
“Tabel Mountaint kita bagaimana?”
“Gampang itu, ke Gorongosa dulu baru kembali lagi. Aku penasaran dengan mbak itu.”
“Aku juga ikut kalian.” Darwin menambahkan datar.
“Kalian tampaknya memang harus ke sana.” Scot kembali terlibat dalam percakapan. “Aku menyesal juga karena bicara jujur.”
“Karena perang saudara di sana?” Alan bertanya yang dijawab dengan sebuah gelengan.
“Aku berkenalan dengan pria itu..... dan istrinya, seorang warga Jerman.” Scot meneruskan kalimatnya dengan nafas berat terputus-putus.
“Ya Tuhan...” suara Lucy tercekat di kerongkongan.
          

No comments:

Post a Comment

Resensi Fortunately The Milk Karya Neil Gaiman

Buku cerita anak yang saya baca ini merupakan terbitan Gramedia pada tahun 2014. Karya Neil Gaiman yang diterbitkan pertama kali pada tahun ...