Ia
mencari suaminya. Beliau mendapat beasiswa kedokteran di Jerman. Sudah setahun
suaminya itu mengambil spesialis bedah. Baru setahun itu juga semua persiapan
mulai matang untuk kepindahan si istri. Kontak terakhir, di saat ada waktu
senggang libur, Suaminya ikut sebagai volunter saat virus ebola menjangkit di Afrika.
Tak ada yang tahu kemana jejaknya, pihak kedutaan, pihak kepolisian, pihak
kampus, pihak NGO yang turut berangkat ke Afrika. Maka, jalan terakhir ialah
mencari sendiri.
Sumber Foto: gorongosa.org
“Ini
fotonya, tolong bantu saya ya.” Ia menjulurkan sebuah foto padaku. Itu foto
pernikahan mereka. Pasangan yang manis. “Saya tidak tahu apa yang tejadi
dengannya, Afrika ini begitu banyak daerah konflik, resiko lainnya juga.
Mungkin dia juga marah kepada saya karena kehilangan anak kami waktu saya
mengandung. Kami telah saling berjanji, akan saya jaga pernikahan ini sampai
ikhtiar penuh. Saya harus tau apa sebenarnya alasan dia menghilang.” Kubalik
foto itu, ada sebuah puisi di sana.
Kepada siapa kan ku labuhkan
rindu?
Ketika awan telah berat
menampung hujan
Matahari telah malu
bersembunyi di ufuk barat
Kepada siapa kan ku bagi
cerita?
Saat liukan jalan telah
bertemu ujung
Dan ombak berhenti berdebur
Pulanglah... Kan Ku Hidangkan Sepiring Cinta Untukmu
“Sini
biar ku lihat.” Lucy menjulurkan tangannya. “Jangan khawatir kami akan
membantumu.” Alex mengeluarkan smartphone, kemudian menjepret foto di tangan
istrinya. “Apa ini?”
“That
is poem.” Darwin juga mengeluarkan kameranya. Foto itu bergilir dari satu
tangan ke tangan lain. Juga blicth yang menyambar berkilatan.
“Bacakan
puisinya untuk kami” Lucy meminta, ketika foto itu telah sampai ke tangan
Cipto, ia menerjemahkan untuk semua teman kami ke dalam bahasa Inggris. Keadaan
begitu khidmat.
Saat
itu tampak Scot datang dari jauh. Ia juga teman komunitas online backpaker.
Kami bertemu dengannya bersamaan dengan Darwin. Tapi ia memutuskan untuk
bepergian sendiri karena tujuan kami berbeda. Aku khawatir padanya, karena
dengan posturrnya yang bisa dibilang ceking, ia selalu tampak terhuyung-huyung
membawa tas punggung. Aku juga jadi ingat tragedi seorang pengelana yang mati
kelaparan di alam bebas. Ia memberikan
anggukan sebagai isyarat sapaan pada kami yang tampak begitu tenang. Scot duduk
di samping Alex, tampang penasarannya begitu ganjil menurutku, dengan mata melotot
ke arah Cipto dan mulut ternganga.
Scot
tampak berbisik kepada Alan, yang kemudian membalas dengan berbisik juga.
Selanjutnya Alan mengeluarkan smarthphone dan memperlihatkan pada Scot. Bule
asal USA itu tampak memperhatikan serius. Beberapa detik, ia tampak berpikir
serius. Sesuatu yang jauh dari pribadi periangnya.
“Aku pernah melihat pria ini.” Pernyataan
Scot mengejukkan kami semua.
“Scot, ini bukan waktu yang tepat untuk
bercanda.” Darwin yang lebih mengenal pemuda itu, memperingatkannya.
“Tidak, aku tak pernah salah mengenali orang.
Seminggu yang lalu, di kantor konservasi hewan, di Mozambique, Gorongosa
National Park.”
Mbak
lekas membenahi slepeing bag yang telah terbentang. Mengibasnya dari debu dan
mengulungnya kembali.
“Mbak mau berangkat sekarang?” Aku bertanya
spontan.
“Iya” jawabannya singkat
“Gak
nunggu besok pagi aja?” aku
bertanya kembali.
“Saya bisa kehilangan jejaknya lagi, kalau
benar itu dia.”
“Kami ikut mbak, bahaya di luar sana buat
mbak.” Cipto telah spontan berdiri sambil menepuk-nepuk pundakku, bentuk
ajakannya.
“Terima kasih tapi saya sudah 3 tahun di
Benua Hitam ini sebagai backpaker, apalagi yang harus saya khawatirkan.” Si
Mbak tersenyum lagi, sambil berlalu pergi. Begitu cepat pertemuan kami.
Sepeninggalannya, kami tertegun beberapa menit.
“Besok kita ke Mozambique.” Cipto berujar
sambil tak lepas menatap api unggun.
“Tabel Mountaint kita bagaimana?”
“Gampang itu, ke Gorongosa dulu baru kembali
lagi. Aku penasaran dengan mbak itu.”
“Aku juga ikut kalian.” Darwin menambahkan
datar.
“Kalian tampaknya memang harus ke sana.” Scot
kembali terlibat dalam percakapan. “Aku menyesal juga karena bicara jujur.”
“Karena perang saudara di sana?” Alan
bertanya yang dijawab dengan sebuah gelengan.
“Aku berkenalan dengan pria itu..... dan
istrinya, seorang warga Jerman.” Scot meneruskan kalimatnya dengan nafas berat
terputus-putus.
“Ya Tuhan...” suara Lucy tercekat di
kerongkongan.
No comments:
Post a Comment