Cerbung: Pulanglah (2)

“Hahaha... kalian lucu, coba lihat ekspresi kalian.” Darwin tau kami kesal, kami bertemu dengannya sudah 2 hari yang lalu. Ia menjadi saksi, betapa banyaknya pikiran yang sama dengan pikiran Lucy. Mungkin juga dalam benaknya. “Kalian terllihat saling melengkapi loh.” Aksen Inggrisnya membuatku hanya menanggkap makna sederhana dari kalimatnya. Hah apanya???
Sumber Foto: http://www.sa-venues.com/

            Saling melengkapi dari Hongkong?!?!?! Aku mengerutu di dalam hati lagi. Ku perhatikan Cipto, kaos oblong, celana pendek di bawah lutut. Wajah dengan bulu-bulu halus yang tumbuh liar. Kontras ku rasa, untuk acara sesantai apapun aku tak pernah mengenakan kaos oblong. Bahkan kalau untuk tidur aku lebih memilih kaos berlengan panjang, sedangkan sehari-harinya aku lebih memilih kaos berkerah atau kemeja. Tiap pagi sekalut apa pun itu, aku tetap punya rutinitas mengosok gigi dan bercukur.  Aku juga begitu bingung kenapa kami bisa berteman selama ini. Satu fakultas pun tidak. Aku di fakultas ekonomi dan dia hukum. Kepalaku rasanya berdenyut. Ditambah lagi kawanku yang agak gila ini berusaha merangkul.

“Hahahaha... tenang, kami hanya bercanda kok.” Semua tawa pecah karena statement terakhir Darwin.    
***


Perawakannya memang biasa saja, selain kulitnya yang merah kecokelatan luar biasa terbakar matahari. Usianya mungkin sekitar 35-an. Tapi di antara kami semua, mbak yang satu ini paling lama berpergian. Tiga tahun sudah ia hidup sebagai backpaker. Tanpa kami sadari gesture kami telah condong ke arahnya, menanti cerita lain. Bahkan Lucy yang dari tadi merangkul tangan suaminya, telah mulai mendekat pada si mbak. Aku dapat membaca suasana, semua penasaran dengan alasan si mbak untuk tetap bergerilya selama itu.

Aku tiba-tiba saja teringat dengan seorang mbak lainnya yang kami temui di bandara, dari percakapan teleponnya kami tau dia akan berpergian selama seminggu. Namun, barang bawaannya luar biasa banyak sampai dia sendiri kerepotan. Mbak bergaya sosialita itu menjatuhkan tas lainnya hingga perlu dibantu seorang pemuda untuk menyatukannya kembali ke troli. Aku dan Cipto tertawa saja melihatnya. Ribet. Tapi berbeda dengan mbak yang kini duduk di depan kami. Ia hanya membawa satu tas punggung berwarna hitam setinggi 60cm. Tidak ada make up glamor atau perhiasan.

“Tiga tahun, kamu tak pernah pulang sekali pun?” Lucy kembali tampak penasaran. Si Mbak mengangguk sambil mengeluarkan sebuah sleeping bag. “Oh My God, kamu tidak rindu keluarga dan teman-temanmu?” Si Lucy sambil curhat, tadi sebelum mbak ini datang, matanya berkaca-kaca bercerita tentang kampung halaman yang begitu dirindukannya. “Kami saja berharap bisa menyelesaikan buku kami dalam 2 minggu hingga bisa kembali ke Manchester, 6 bulan ini terasa berat, walaupun begitu menyenangkan.”
“Maaf tapi apa yang anda kerjakan sampai tidak pulang selama itu? Saya meliput beberapa berita sebulan ini. Kalau tidak ada halangan 4 hari lagi saya sudah bisa pulang.” Darwin menambahkan.
“Saya mencari seseorang.” Si Mbak tersenyum ringan. Walaupun asal Indonesia, mungkin mbak ini seorang interpol yang harus mencari buronan internasional, khayalku sudah tinggi. Semua dari kami mengerutkan kening antara penasaran dan tidak mengerti. “Suami saya.” Pastinya raut binggung lebih jelas di wajah kami, sehingga akhirnya si mbak bercerita panjang lebar.

            Ia mencari suaminya. Beliau mendapat beasiswa kedokteran di Jerman. Sudah setahun suaminya itu mengambil spesialis bedah. Baru setahun itu juga semua persiapan mulai matang untuk kepindahan si istri. Kontak terakhir, di saat ada waktu senggang libur, Suaminya ikut sebagai volunter saat virus ebola menjangkit di Afrika. Tak ada yang tahu kemana jejaknya, pihak kedutaan, pihak kepolisian, pihak kampus, pihak NGO yang turut berangkat ke Afrika. Maka, jalan terakhir ialah mencari sendiri. 

No comments:

Post a Comment

Resensi Fortunately The Milk Karya Neil Gaiman

Buku cerita anak yang saya baca ini merupakan terbitan Gramedia pada tahun 2014. Karya Neil Gaiman yang diterbitkan pertama kali pada tahun ...