“Hahaha...
kalian lucu, coba lihat ekspresi kalian.” Darwin tau kami kesal, kami bertemu
dengannya sudah 2 hari yang lalu. Ia menjadi saksi, betapa banyaknya pikiran
yang sama dengan pikiran Lucy. Mungkin juga dalam benaknya. “Kalian terllihat
saling melengkapi loh.” Aksen Inggrisnya membuatku hanya menanggkap makna
sederhana dari kalimatnya. Hah apanya???
Sumber Foto: http://www.sa-venues.com/
Saling
melengkapi dari Hongkong?!?!?! Aku mengerutu di dalam hati lagi. Ku
perhatikan Cipto, kaos oblong, celana pendek di bawah lutut. Wajah dengan
bulu-bulu halus yang tumbuh liar. Kontras ku rasa, untuk acara sesantai apapun
aku tak pernah mengenakan kaos oblong. Bahkan kalau untuk tidur aku lebih
memilih kaos berlengan panjang, sedangkan sehari-harinya aku lebih memilih kaos
berkerah atau kemeja. Tiap pagi sekalut apa pun itu, aku tetap punya rutinitas
mengosok gigi dan bercukur. Aku juga
begitu bingung kenapa kami bisa berteman selama ini. Satu fakultas pun tidak.
Aku di fakultas ekonomi dan dia hukum. Kepalaku rasanya berdenyut. Ditambah
lagi kawanku yang agak gila ini berusaha merangkul.
“Hahahaha... tenang, kami
hanya bercanda kok.” Semua tawa pecah karena statement terakhir Darwin.
***
Perawakannya
memang biasa saja, selain kulitnya yang merah kecokelatan luar biasa terbakar
matahari. Usianya mungkin sekitar 35-an. Tapi di antara kami semua, mbak yang
satu ini paling lama berpergian. Tiga tahun sudah ia hidup sebagai backpaker.
Tanpa kami sadari gesture kami telah condong ke arahnya, menanti cerita lain.
Bahkan Lucy yang dari tadi merangkul tangan suaminya, telah mulai mendekat pada
si mbak. Aku dapat membaca suasana, semua penasaran dengan alasan si mbak untuk
tetap bergerilya selama itu.
Aku
tiba-tiba saja teringat dengan seorang mbak lainnya yang kami temui di bandara,
dari percakapan teleponnya kami tau dia akan berpergian selama seminggu. Namun,
barang bawaannya luar biasa banyak sampai dia sendiri kerepotan. Mbak bergaya
sosialita itu menjatuhkan tas lainnya hingga perlu dibantu seorang pemuda untuk
menyatukannya kembali ke troli. Aku dan Cipto tertawa saja melihatnya. Ribet.
Tapi berbeda dengan mbak yang kini duduk di depan kami. Ia hanya membawa satu
tas punggung berwarna hitam setinggi 60cm. Tidak ada make up glamor atau
perhiasan.
“Tiga
tahun, kamu tak pernah pulang sekali pun?” Lucy kembali tampak penasaran. Si Mbak
mengangguk sambil mengeluarkan sebuah sleeping bag. “Oh My God, kamu tidak
rindu keluarga dan teman-temanmu?” Si Lucy sambil curhat, tadi sebelum mbak ini
datang, matanya berkaca-kaca bercerita tentang kampung halaman yang begitu
dirindukannya. “Kami saja berharap bisa menyelesaikan buku kami dalam 2 minggu
hingga bisa kembali ke Manchester, 6 bulan ini terasa berat, walaupun begitu
menyenangkan.”
“Maaf
tapi apa yang anda kerjakan sampai tidak pulang selama itu? Saya meliput
beberapa berita sebulan ini. Kalau tidak ada halangan 4 hari lagi saya sudah
bisa pulang.” Darwin menambahkan.
“Saya
mencari seseorang.” Si Mbak tersenyum ringan. Walaupun asal Indonesia, mungkin
mbak ini seorang interpol yang harus mencari buronan internasional, khayalku
sudah tinggi. Semua dari kami mengerutkan kening antara penasaran dan tidak
mengerti. “Suami saya.” Pastinya raut binggung lebih jelas di wajah kami,
sehingga akhirnya si mbak bercerita panjang lebar.
Ia mencari suaminya. Beliau mendapat
beasiswa kedokteran di Jerman. Sudah setahun suaminya itu mengambil spesialis
bedah. Baru setahun itu juga semua persiapan mulai matang untuk kepindahan si
istri. Kontak terakhir, di saat ada waktu senggang libur, Suaminya ikut sebagai
volunter saat virus ebola menjangkit di Afrika. Tak ada yang tahu kemana
jejaknya, pihak kedutaan, pihak kepolisian, pihak kampus, pihak NGO yang turut
berangkat ke Afrika. Maka, jalan terakhir ialah mencari sendiri.
No comments:
Post a Comment