Cerbung; Foto di Belakang Bus (2)

Pembicaraan yang menjurus itu mengundang gelak tawa, tiba-tiba saja meja kami bertambah ramai, 5 orang lain mulai mendekatkan kursi dan terlibat pembicaraan.
Obrolan sudah mulai kemana-mana, memanas. Topik yang meloncat-loncat, kadang persoalan politik, sampai urusan liar dan mesum. Anehnya, diantara topik yang terus bergulir, ujung-ujungnya akan kembali lagi ke persoalan itu. Semua tampak paling tertarik. Mungkin karena sedang jauh dari pasangan.
“Di mana itu? Anterin saya ya kalau kegiatan kita sudah selesai.” Pak pengusaha bertanya padaku.

Sumber foto: cupritmeow.wordpress.com

“Wah... Bapak salah orang, abang kite ni tak ada pengalaman yang begitu-begituan.” Tawa kembali pecah lagi, aku hanya menahan malu, bingung mau menggangap pernyataan temanku itu sebagai pujian atau sindiran, terasa juga panasnya wajah yang mungkin memerah. Asem banget ni pengusaha, ia tampak begitu terkejut. Kini ia malah memandangiku dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan begitu seksama, seperti kanak-kanak menatap fosil di ruang museum.
“Sudah berapa tahun menikah?” Pengusaha ini tampak begitu penasaran, wajahnya berganti dengan tampang sedikit sedih.
“Alhamdulillah sudah 15 tahun Pak.”
“Gak bosan kamu?” tanyanya ini membuat tawa lebih pecah lagi.
...


Hari selanjutnya rombongan kembali bergerak setelah sarapan pagi. Rute tinggal ditempuh sejauh 30 km lagi. Rombongan bisa datang tepat waktu saat makan siang, sekaligus menyaksikan pembukaan pawai naga. Untuk selanjutnya selepas makan malam, peserta akan kembali lagi ke ibu kota provinsi. Susunan acara cendrung terburu-buru, saya juga tidak mengerti hal yang mendasari keputusan seksi acara.

Mulai memasuki Kota Administratif Singkawang, para peserta mulai terpana. Mereka memrotes susunan acara yang begitu sempit. Bagaimana tidak, dari tadi malam bagi yang baru menginjak Singkawang terus saja dipanas-panasi dengan aneka tempat wisata yang masih begitu alami.
“Kalau di kota besar mungkin permainannya lengkap Mas, tapi gak pentinglah itu untuk orang seumur kita. Toh semua juga bakal sama aja nol kalau alamnya rusak. Di Singkawang, widih itu pantai gak kalah dengan Bali, bagusnya lagi masih asri banget, jadi kayak main ke pantai sendiri.” Begitulah seingat saya ketika seorang rekan jurnalis koran lokal mengompori seorang atlet. 

Tidak hanya pantai yang menjadi kebanggaan warga Kalbar yang membuat para tamu terpesona, tapi begitu masuk ke Kota Singkawang mereka tak bisa menyembunyikan ekspresi takjub. Suasana imlek mendominasi kota nostalgia ini. Ribuan lampion tergantung indah. Belum lagi pertunjukan budaya.
“Bang... kita belum coba kulinernya ni, masak buru-buru banget?”
Waduh, udah perintah dari atas ini, biar bisa istirahat lebih nyenyak di hotel yang di Ponti, makanannya juga sama kok dengan di Ponti.”
“Ya udah nanti aku ikut mobil Abang.”
“Oke.”
Nyatanya rombongan telah terpisah, 3 mobil langsung pulang setelah festifal budaya selesai sore harinya. Setelah makan malam juga begitu, 6 mobil segera meluncur ke Pontianak. Saya entah mengapa, stanby saja dengan bujukan anak-anak lain yang berjanji jam 9 akan turut pulang. Selepas makan malam kami semua memang sudah selesai berkemas, ransel-ransel sudah memenuhi bagasi mobil.
“Bang.... kami jam 12 aja nanti pulang!” Si Saiful mengetuk jendela depan, aku terkejut.
“Memangnya muat mobil kalian?” Saya bertanyaa sambil menurunkan kaca.
“Muatlah, semua barangkan dipindahin ke sini.” Saiful hanya memamerkan senyum kudanya. “Oh ya bang, kawanku numpang ya. Mau jenguk paman yang masuk Soedarso, udah di ICU lagi, kasihan keluarga diminta cepat kumpul. Lagian biar abang tak ngantuk di jalan.”
“Sudah cepat saja gerakmu, abang mau menyusul rombongan yang tadi.”
“Ini kawanku bang.” Seoarng wanita duduk dengan angun di kursi depan. Begitu pintu dibanting Saiful langsung menghilang dengan ajaib.

Kurang ajar, pasti ada yang tidak beres ini. Tapi berburuk sangka bisa menjadi penyesalan nantinya, apalagi jika terkait nyawa. Lebih kurang satu jam kami berkendara, Terkadang ada percakapan di antara saya dan si wanita. Kecurigaan pun semakin besar, melihat tingkah wanita di samping saya ini. Gesture dan isi pembicaraannya seolah-olah mengoda.

Kami tepat di belakang bus, foto di belakang bus itu benar-benar mencuri perhatianku. 

No comments:

Post a Comment

Resensi Fortunately The Milk Karya Neil Gaiman

Buku cerita anak yang saya baca ini merupakan terbitan Gramedia pada tahun 2014. Karya Neil Gaiman yang diterbitkan pertama kali pada tahun ...