Pembicaraan
yang menjurus itu mengundang gelak tawa, tiba-tiba saja meja kami bertambah
ramai, 5 orang lain mulai mendekatkan kursi dan terlibat pembicaraan.
Obrolan
sudah mulai kemana-mana, memanas. Topik yang meloncat-loncat, kadang persoalan
politik, sampai urusan liar dan mesum. Anehnya, diantara topik yang terus
bergulir, ujung-ujungnya akan kembali lagi ke persoalan itu. Semua tampak
paling tertarik. Mungkin karena sedang jauh dari pasangan.
“Di
mana itu? Anterin saya ya kalau
kegiatan kita sudah selesai.” Pak pengusaha bertanya padaku.
Sumber foto: cupritmeow.wordpress.com
“Wah...
Bapak salah orang, abang kite ni tak
ada pengalaman yang begitu-begituan.”
Tawa kembali pecah lagi, aku hanya menahan malu, bingung mau menggangap
pernyataan temanku itu sebagai pujian atau sindiran, terasa juga panasnya wajah
yang mungkin memerah. Asem banget ni
pengusaha, ia tampak begitu terkejut. Kini ia malah memandangiku dari ujung
rambut sampai ujung kaki dengan begitu seksama, seperti kanak-kanak menatap
fosil di ruang museum.
“Sudah
berapa tahun menikah?” Pengusaha ini tampak begitu penasaran, wajahnya berganti
dengan tampang sedikit sedih.
“Alhamdulillah
sudah 15 tahun Pak.”
“Gak
bosan kamu?” tanyanya ini membuat tawa lebih pecah lagi.
...
Hari
selanjutnya rombongan kembali bergerak setelah sarapan pagi. Rute tinggal
ditempuh sejauh 30 km lagi. Rombongan bisa datang tepat waktu saat makan siang,
sekaligus menyaksikan pembukaan pawai naga. Untuk selanjutnya selepas makan
malam, peserta akan kembali lagi ke ibu kota provinsi. Susunan acara cendrung
terburu-buru, saya juga tidak mengerti hal yang mendasari keputusan seksi acara.
Mulai
memasuki Kota Administratif Singkawang, para peserta mulai terpana. Mereka
memrotes susunan acara yang begitu sempit. Bagaimana tidak, dari tadi malam
bagi yang baru menginjak Singkawang terus saja dipanas-panasi dengan aneka
tempat wisata yang masih begitu alami.
“Kalau
di kota besar mungkin permainannya lengkap Mas, tapi gak pentinglah itu untuk
orang seumur kita. Toh semua juga bakal sama aja nol kalau alamnya rusak. Di
Singkawang, widih itu pantai gak kalah dengan Bali, bagusnya lagi
masih asri banget, jadi kayak main ke pantai sendiri.” Begitulah
seingat saya ketika seorang rekan jurnalis koran lokal mengompori seorang
atlet.
Tidak
hanya pantai yang menjadi kebanggaan warga Kalbar yang membuat para tamu
terpesona, tapi begitu masuk ke Kota Singkawang mereka tak bisa menyembunyikan
ekspresi takjub. Suasana imlek mendominasi kota nostalgia ini. Ribuan lampion
tergantung indah. Belum lagi pertunjukan budaya.
“Bang...
kita belum coba kulinernya ni, masak buru-buru banget?”
“Waduh, udah perintah dari atas ini, biar
bisa istirahat lebih nyenyak di hotel
yang di Ponti, makanannya juga sama
kok dengan di Ponti.”
“Ya
udah nanti aku ikut mobil Abang.”
“Oke.”
Nyatanya
rombongan telah terpisah, 3 mobil langsung pulang setelah festifal budaya
selesai sore harinya. Setelah makan malam juga begitu, 6 mobil segera meluncur
ke Pontianak. Saya entah mengapa, stanby saja dengan bujukan anak-anak lain
yang berjanji jam 9 akan turut pulang. Selepas makan malam kami semua memang
sudah selesai berkemas, ransel-ransel sudah memenuhi bagasi mobil.
“Bang....
kami jam 12 aja nanti pulang!” Si Saiful mengetuk jendela depan, aku terkejut.
“Memangnya
muat mobil kalian?” Saya bertanyaa sambil menurunkan kaca.
“Muatlah,
semua barangkan dipindahin ke sini.” Saiful hanya memamerkan senyum kudanya.
“Oh ya bang, kawanku numpang ya. Mau jenguk paman yang masuk Soedarso, udah di
ICU lagi, kasihan keluarga diminta cepat kumpul. Lagian biar abang tak ngantuk
di jalan.”
“Sudah
cepat saja gerakmu, abang mau menyusul rombongan yang tadi.”
“Ini
kawanku bang.” Seoarng wanita duduk dengan angun di kursi depan. Begitu pintu
dibanting Saiful langsung menghilang dengan ajaib.
Kami tepat di belakang bus, foto di belakang bus itu
benar-benar mencuri perhatianku.
No comments:
Post a Comment