Cerpen Gadis Kalibata

“Ayo kita taruhan?” aku sedikit kaget ketika Hadi membuka suara di kala kesunyian kami membuat sket. Dalam raut wajahku ini, pasti tergambar sebuah tanda tanya, sehingga Hadi, temanku itu, melanjutkan kata-katanya. “Taruhan, tak besar lah, hanya untuk senang-senang saja, menerka apa pekerjaan wanita itu?”


Sumber Gambar: trend-kid.com

Aku melirik ke objek yang ditunjuk dengan sudut dari bibirnya. Seorang wanita, muda, dengan dandanan cukup eksentrik. Sudah 3 kali kami bertemu dia. Tiap akhir pekan kami ke sini. Kami punya tujuan mencari inspirasi untuk lomba disain yang kami ikuti. Aneh memang, teman-teman yang lain menertawakan kebiasaan ini, khususnya aku. Mereka tahu bahwa si Hadiudin yang kini duduk di sebelahku dengan tampang bosan itu hanya mengikuti kemauanku. Kemauanku untuk duduk berjam-jam di area pemakaman.

“Bang, seharusnya kita bawa aja dupa, siapa tau, kamu kan dapat inspirasi untuk disain, nah aku dapat nomor togel, hahahaha.” Kelakar si Hadi suatu ketika. Memang bukan pemakaman biasa sih tempat inspirasiku, tapi Makam Pahlawan di kalibata ini.        
“Anak teater, pilihanku.” Aku berusaha menutup mulut Hadi, mungkin saja kalau dia berpikir mulutnya akan kembali rapat.
“Itu bukan pekerjaan, tak cukup untuk hidup, kecuali bisa main di Broadway,” ia memprotes. “Ia pasti anak komunitas ontel.” Si Hadi mengangguk-angguk lagi seperti seorang detektif yang bangga telah memecahkan kasus.
“Itu hobi, lagi pun dengan ontel yang diseretnya kian kemari itu, semua juga tahu.”
“Pelayan toko, tapi bukan sembarangan, minimarket modern yang banyak tersebar di sudut jalan, kalau kita masuk, dia akan menyapa. Nah, itu tebakkanku.” Sekarang giliran aku yang mengganguk-angguk, supaya sohibku ini merasa sedikit dihargai, sebelum aku kembali tepekur pada sketku. “Tapi, bagaimana kita bisa tau jawaban siapa yang benar, ku tanya sajalah.” Memang luar biasa si Hadi ini, mungkin saja sudah dari awal ia merasa si gadis begitu manis, jadi dibuatnya saja alasan untuk taruhan.
“Kamu ini, apa serunya kalau langsung ditanyakan, kita tunggu saja perkembangan selama sebulan ini, siapa tahu ada hal menarik lainnya.” Aku juga penasaran dengan apa yang akan terjadi, masih lebih baik daripada menganggu privasi seseorang.
“Okelah.”

            Hampir 2 bulan kami di sini, sket ku belom juga kelar. Ide seolah mampet mendekat deadline. Seharusnya aku mencoba metode lain, wawancara mungkin bisa menyerap keinginan publik untuk tata ruang terbuka hijau. Seperti biasa juga, si Hadi selalu menghilang. Tapi ada yang membedakannya sekrang, ia juga selalu membawa pensil 2b dan beberapa lembar kertas ke mana-mana.

“Bang, aku tau pekerjaannya.” Si Hadi datang tergopoh-gopoh ketika aku telah mulai bersiap pulang, aku sedikit binggung, tapi kemudian ingat tentang taruhan kami. “Ia model lukis.” Aku kembali mengerutkan alis. “Ini.” Hadi polos memberikan lembaran HVS miliknya. Tak kukenali objek di kertas itu, tak jelas juga alirannya, tapi yang pasti kepang dua itu merujuk pada gadis kalibata. “Oh, iya bang, ia juga bilang tadi, untuk menagihkan upah kepadamu, padahal aku tak cerita lo bang. Tahu saja tidak aku.” Hadi spontan merampas buku sketku, dan agresif membalik lembar-lembarnya. “Bagaimana mau dapat ide, kepalamu sudah penuh dengan cinta, hahahaha....” Hadi tertawa lepas, tak peduli dengan mukaku yang memerah.

No comments:

Post a Comment

Resensi Fortunately The Milk Karya Neil Gaiman

Buku cerita anak yang saya baca ini merupakan terbitan Gramedia pada tahun 2014. Karya Neil Gaiman yang diterbitkan pertama kali pada tahun ...