Cerbung: Cerita Langit Mendung (5)

“Kamu ini ngapa sih? Wong maksud Satrio itu baik ngurus kepindahan kamu?”
“Tapi caranya itu bu, aku juga yakin kalau bapak juga punya pendapat sama kayag aku. Aku dididik dengan keidealisan pria yang berdisiplin tinggi, pria yang gak takut pangkatnya gak naek-naek kalo yakin ngebela yang benar.”

Ndok...kamu kenapa bawa-bawa bapakmu? Wong almarhum udah tenang kok.” Kejengkelan terdengar dalam suara ibu yang bergetar,  ia segara beranjak dari kamarku.
“Aku cuma menggingat ajaran bapak. Dan tetap setia sama nuraniku yang berusaha ngebela kemanusian. Berusaha tetap jadi manusia.”

“Kamu percis kayak bapakmu, abang-abangmu aja ngak ada yang kerasnya ikut bapakmu, malah kamu ini. Keras kepalamu sama dengan bapakmu, tapi bapakmu ngak pengecut dengan menghindari masalah lo. Itu yang ngebuat ibu mau jauh-jauh ikut putra kalimantan asli itu.” Sepeninggalan ibu aku kembali merebahkan diri, pikiranku terus saja bergelut laksana berbagai partikel yang terbawa bergumul dalam angin puting beliung. Aku putuskan, aku harus tegas, aku kembali berdiri di atas sajadah.
...
Aku punya kesibukkan yang begitu membantu. Itu begitu aku syukuri karena saat ketidakberdayaan dan kelaraan menyergap bersamaan, aku masih punya segala rutinas. Kewajiban-kewajiban yang menjadi pelarian atau bahkan satu-satunya cara untuk melupakan semua. Aku akan mabuk di dalamnya, turut mengalir dalam tiap tegukkan, tak pernah tersadar karena kedinamisannya yang begitu menghentak.

No comments:

Post a Comment

Resensi Fortunately The Milk Karya Neil Gaiman

Buku cerita anak yang saya baca ini merupakan terbitan Gramedia pada tahun 2014. Karya Neil Gaiman yang diterbitkan pertama kali pada tahun ...