“Kamu ini ngapa sih? Wong maksud
Satrio itu baik ngurus kepindahan
kamu?”
“Tapi caranya itu bu, aku juga yakin kalau
bapak juga punya pendapat sama kayag
aku. Aku dididik dengan keidealisan pria yang berdisiplin tinggi, pria yang gak takut pangkatnya gak naek-naek kalo yakin ngebela yang benar.”
Sumber Gambar: https://www.flickr.com/photos/
“Ndok...kamu
kenapa bawa-bawa bapakmu? Wong almarhum
udah tenang kok.” Kejengkelan terdengar dalam suara ibu yang bergetar, ia segara beranjak dari kamarku.
“Aku cuma menggingat ajaran bapak. Dan
tetap setia sama nuraniku yang berusaha ngebela
kemanusian. Berusaha tetap jadi manusia.”
“Kamu percis kayak bapakmu, abang-abangmu
aja ngak ada yang kerasnya ikut bapakmu,
malah kamu ini. Keras kepalamu sama dengan bapakmu, tapi bapakmu ngak pengecut dengan menghindari masalah
lo. Itu yang ngebuat ibu mau jauh-jauh ikut putra kalimantan asli itu.” Sepeninggalan
ibu aku kembali merebahkan diri, pikiranku terus saja bergelut laksana berbagai
partikel yang terbawa bergumul dalam angin puting beliung. Aku putuskan, aku harus tegas, aku
kembali berdiri di atas sajadah.
...
Aku punya kesibukkan yang begitu membantu.
Itu begitu aku syukuri karena saat ketidakberdayaan dan kelaraan menyergap
bersamaan, aku masih punya
segala rutinas. Kewajiban-kewajiban yang menjadi pelarian atau bahkan
satu-satunya cara untuk melupakan semua. Aku akan mabuk di dalamnya, turut mengalir dalam tiap tegukkan, tak pernah tersadar karena
kedinamisannya yang begitu menghentak.
No comments:
Post a Comment