Cerbung: Cerita Langit Mendung (4)

Kemana Satrio yang dulu selalu bereaksi cepat saat rakyat kecil terpijak? Kemana Satrio yang dulu selalu berteriak lantang demi bereaksi keras menentang KKN? Kemana Satrio yang dulu dengan nurani lembutnya yang membuatku kagum? “Aku tinggal telepon ne, dan paling lambat minggu depan SK barumu turun.” Satrio masih belum menyadari kemelut sukmaku.
Sumber Gambar: www.glogster.com


“Kamu berubah!” Ujarku tajam dan segera meninggalkan restoran. Aku tak sanggup lagi menoleh kearahnya. Tak lama ada selaksa nyeri menghampiri kepalaku. Denyutan ini begitu membara dan semakin menguat tiap detiknya. Memang denyutan ini hanya menyayat di beberapa titik namun dalam keadaan seperti sekarang ini sungguh begitu memprovokasi. Aku hanya ingin segera lekas pulang dan merebahkan diri.

Hari-hari pasca kejadian itu ibu berusaha menjadi penengah, berusaha menyatukan aku dan Satrio. Berusaha menyambung pikiranku dan Satrio. Sementra aku masih tak mau bertemu dengannya, hatiku masih mendidih. Aku tahu kebinggungan pasti mengalir di nadi-nadi Satrio, aku tahu itu juga yang terjadi dengan ibu saat melihat reaksiku.

Aku teringat rumah sakit kecilku, warga-warga, dan pasien-pasien yang pernah kurawat. Semasa kuliah, tentu aku tak pernah membayangkan hal tersebut. Pikiranku yang dangkal hanya memikirkan kebanggaan ibu saat aku di wisuda juga nominal yang terus bertambah di rekeningku.
Tok... tok... tok...
“Ibu masuk ya ndok...”
“Masuk bu, pintunya ndak Laras kunci.”
“Di luar ada Satrio lo, kesian udah beberapa ari kesini tapi ndak ketemu kamu. Kalo ada masalah harus diomongin lo biar selesai.” Ibu duduk di kaki ranjang dan aku yang dari tadi berbaring segera membenarkan posisi dudukku.
“Ibu, aku ngerasa Satrio berubah lo.”
“Berubah?” Ujar ibu dengan ekspresi binggung dan kerutan kening yang membuat garis-garis dahinya semakin jelas.”Kalo mau ngelepas masa lajang, ya seperti itu. Binggung, ngerasa ada yang gak cocok, ngerasa ada yang berubah, mulai plin-plan. Ati-ati lo ndok, perasaanmu itu objektif ngak?”
“Bu, aku serius ne. Bukan soal ragu kawinnya, tapi mas Satrio lo...Ibu pasti juga ngeraskan ada yang beda? Satrio yang duduk di luar itu punya hati yang jelas beda sama Satrio yang dulu aku kenalin pertama kali sama ibu dan bapak.”
“Kamu ini ngapa sih? Wong maksud Satrio itu baik ngurus kepindahan kamu?”
“Tapi caranya itu bu, aku juga yakin kalau bapak juga punya pendapat sama kayag aku. Aku dididik dengan keidealisan pria yang berdisiplin tinggi, pria yang gak takut pangkatnya gak naek-naek kalo yakin ngebela yang benar.”
Ndok...kamu kenapa bawa-bawa bapakmu? Wong almarhum udah tenang kok.” Kejengkelan terdengar dalam suara ibu yang bergetar,  ia segara beranjak dari kamarku.

No comments:

Post a Comment

Resensi Fortunately The Milk Karya Neil Gaiman

Buku cerita anak yang saya baca ini merupakan terbitan Gramedia pada tahun 2014. Karya Neil Gaiman yang diterbitkan pertama kali pada tahun ...