Kemana Satrio yang dulu selalu bereaksi
cepat saat rakyat kecil terpijak? Kemana Satrio yang dulu selalu berteriak
lantang demi bereaksi keras menentang KKN? Kemana Satrio yang dulu dengan
nurani lembutnya yang membuatku kagum? “Aku tinggal telepon ne, dan paling lambat minggu depan SK
barumu turun.” Satrio masih belum menyadari kemelut sukmaku.
Sumber Gambar: www.glogster.com
“Kamu berubah!” Ujarku tajam dan segera
meninggalkan restoran. Aku tak sanggup lagi menoleh kearahnya. Tak lama ada
selaksa nyeri menghampiri kepalaku. Denyutan ini begitu membara dan semakin
menguat tiap detiknya. Memang denyutan ini hanya menyayat di beberapa titik namun
dalam keadaan seperti sekarang ini sungguh begitu memprovokasi. Aku hanya ingin
segera lekas pulang dan merebahkan diri.
Hari-hari pasca kejadian itu ibu berusaha
menjadi penengah, berusaha menyatukan aku dan Satrio. Berusaha menyambung
pikiranku dan Satrio. Sementra aku masih tak mau bertemu dengannya, hatiku
masih mendidih. Aku tahu kebinggungan pasti mengalir di nadi-nadi Satrio, aku
tahu itu juga yang terjadi dengan ibu saat melihat reaksiku.
Aku teringat rumah sakit kecilku, warga-warga,
dan pasien-pasien yang pernah kurawat. Semasa kuliah, tentu aku tak pernah
membayangkan hal tersebut. Pikiranku yang dangkal hanya memikirkan kebanggaan
ibu saat aku di wisuda juga nominal yang terus bertambah di rekeningku.
Tok... tok... tok...
“Ibu masuk ya ndok...”
“Masuk bu, pintunya ndak Laras kunci.”
“Di luar ada Satrio lo, kesian udah beberapa ari kesini tapi ndak ketemu kamu. Kalo
ada masalah harus diomongin lo biar
selesai.” Ibu duduk di kaki ranjang dan aku yang dari tadi berbaring segera
membenarkan posisi dudukku.
“Ibu, aku ngerasa Satrio berubah lo.”
“Berubah?” Ujar ibu dengan ekspresi
binggung dan kerutan kening yang membuat garis-garis dahinya semakin jelas.”Kalo
mau ngelepas masa lajang, ya seperti
itu. Binggung, ngerasa ada yang gak cocok, ngerasa ada yang berubah, mulai plin-plan.
Ati-ati lo ndok, perasaanmu itu
objektif ngak?”
“Bu, aku serius ne. Bukan soal ragu kawinnya, tapi mas Satrio lo...Ibu pasti juga ngeraskan
ada yang beda? Satrio yang duduk di luar itu punya hati yang jelas beda sama
Satrio yang dulu aku kenalin pertama
kali sama ibu dan bapak.”
“Kamu ini ngapa sih? Wong maksud
Satrio itu baik ngurus kepindahan
kamu?”
“Tapi caranya itu bu, aku juga yakin kalau
bapak juga punya pendapat sama kayag
aku. Aku dididik dengan keidealisan pria yang berdisiplin tinggi, pria yang gak takut pangkatnya gak naek-naek kalo yakin ngebela yang benar.”
“Ndok...kamu
kenapa bawa-bawa bapakmu? Wong almarhum
udah tenang kok.” Kejengkelan terdengar dalam suara ibu yang bergetar, ia segara beranjak dari kamarku.
No comments:
Post a Comment