Cerbung; Cerita Langit Mendung (3)

Pandanganku beralih pada garis melingkar yang meninggalkan warna putih di jari manis kiriku. Dulu pernah ada benda yang begitu kujaga dan kuhargai, bukan karena nilai rupiah dalam tiap karatnya namun karena simbol dari nilai indah kepercayaan dan pengertian. Pikiranku meloncat ke peristiwa seminggu lalu.


Sumber Foto: www.shutterstock.com
...
Aku begitu bahagia melihat sosok itu, dan jika tidak menggingat adat kesopanan timur mungkin aku akan menghambur ke dalam pelukkannya, berdiam selama mungkin. Pancaran matanya pun berusaha menuturkan perasaan yang sama dengan yang kurasakan, rindu. Satrio menjemputku dengan sumringah senyum khasnya, ia sigap membawa tasku. Apa nanti ia juga akan tetap sesigap ini kala menjadi suamiku atau malah berubah jadi sesosok manusia cuek yang berlaga seperti bos besar? Tipe suami-suami yang umumnya kulihat dalam masa tugasku di daerah, yang beranggapan bahwa istri adalah seorang abdi. Ah, Aku jadi ngelantur

Akhirnya setelah setahun, kudapatkan juga beberapa hari masa cuti. Satrio menuntun diriku memasuki Terios silvernya.
“Mas, baru lagi ya?”
“Iya, dapat proyek baru, bukan kakap lagi. Tapi proyek paaaus...he..he.., ku juga bosan Ras pake yang lama, getarannya bikin capek kalo kelaman nyetir. Tapi tenang, ku sempat nabung kok, ntar buat kawin.”
“Buat kawin aja, buat hidup sesudah kawin gimana?”
“Iya, itu juga bu bidan. Sekarang aku mau nyulik kamu dulu. Lo ku antar pulang pasti kamu langsung tidur nanti.”
“Iya lah Mas, 12 jam aku di bus. Aku benar-benar capek ne.” Satrio tidak mengindahkan pernyataanku tentang rase capek yang begitu mengelayut di badan. Ia malah menginjak pedal gas lebih dalam dan setelah beberapa saat, aku kembali duduk. Satrio membawaku ke sebuah rumah makan.

“Pasti di sana kamu gak pernah makan makanan kayag ginikan? Nah, makanya aku traktir.” Ujaran Satrio itu sedikit menyinggung perasaanku. Memang benar di daerah tak pernah ada makanan semewah ini. Namun, aku tetap bisa makan enak, ada ketulusan yang mengharukan dan memberikan aliran bahagia saat menyantap makanan yang diolah dari sayuran dan bahan mentah lain yang diberikan warga dengan suka cita padaku. Bahkan sambal terasi dengan jeruk sambal segar yang diolah Imas dari hasil kebunnya sendiri jauh lebih nikmat dari pada stek yang terhampar di depanku. Aku menatap Satrio sekilas, berat badannya pasti naik beberapa kilo. 

“Aku punya kawan di dinas, dan dengan jentikkan jarinya saja, tuan putriku ini bisa tetap tinggal di kota. Aku sudah omong-omong dengan dia.” Ujaran Satrio membuatku binggung dan pasti kebinggungan itu tergambar dengan jelas di wajahku sehingga Satrio melanjutkan penjelasannya. “Di dinas provinsi, ada posisi yang cocok buat mahasiswa cum laude S1 dari universitas ternama seperti kamu Ras. Kamu tinggal duduk ngurusin administrasi, ndak perlu capek-capek dinas di daerah terpencil.” Aku terkejut dan akibatnya kursi yang ku duduki ikut bergeser mundur menimbulkan deritan yang asing. Keasingan yang jauh seperti keadaan sosok di hadapakanku ini. Kemana Satrio yang dulu di masa kuliah membuatku jatuh hati? Kemana Satrio yang dulu selalu bereaksi cepat saat rakyat kecil terpijak? Kemana Satrio yang dulu selalu berteriak lantang demi bereaksi keras menentang KKN? Kemana Satrio yang dulu dengan nurani lembutnya yang membuatku kagum? “Aku tinggal telepon ne, dan paling lambat minggu depan SK barumu turun.” Satrio masih belum menyadari kemelut sukmaku.
“Kamu berubah!” Ujarku tajam dan segera meninggalkan restoran.

No comments:

Post a Comment

Resensi Fortunately The Milk Karya Neil Gaiman

Buku cerita anak yang saya baca ini merupakan terbitan Gramedia pada tahun 2014. Karya Neil Gaiman yang diterbitkan pertama kali pada tahun ...