Pandanganku beralih pada garis melingkar
yang meninggalkan warna putih di jari manis kiriku. Dulu pernah ada benda yang
begitu kujaga dan kuhargai, bukan karena nilai rupiah dalam tiap karatnya namun
karena simbol dari nilai indah kepercayaan dan pengertian. Pikiranku meloncat ke
peristiwa seminggu lalu.
Sumber Foto: www.shutterstock.com
...
Aku begitu bahagia melihat sosok itu, dan
jika tidak menggingat adat kesopanan timur mungkin aku akan menghambur ke dalam
pelukkannya, berdiam selama mungkin. Pancaran matanya pun berusaha menuturkan
perasaan yang sama dengan yang kurasakan, rindu. Satrio menjemputku dengan
sumringah senyum khasnya, ia sigap membawa tasku. Apa nanti ia juga akan tetap
sesigap ini kala menjadi suamiku atau malah berubah jadi sesosok manusia cuek yang
berlaga seperti bos besar? Tipe suami-suami yang umumnya kulihat dalam masa
tugasku di daerah, yang beranggapan bahwa istri adalah seorang abdi. Ah, Aku jadi ngelantur.
Akhirnya setelah setahun, kudapatkan juga
beberapa hari masa cuti. Satrio menuntun diriku memasuki Terios silvernya.
“Mas, baru lagi ya?”
“Iya, dapat proyek baru, bukan kakap lagi.
Tapi proyek paaaus...he..he.., ku juga bosan Ras pake yang lama, getarannya
bikin capek kalo kelaman nyetir. Tapi
tenang, ku sempat nabung kok, ntar buat kawin.”
“Buat kawin aja, buat hidup sesudah kawin gimana?”
“Iya, itu juga bu bidan. Sekarang aku mau
nyulik kamu dulu. Lo ku antar pulang
pasti kamu langsung tidur nanti.”
“Iya lah Mas, 12 jam aku di bus. Aku
benar-benar capek ne.” Satrio tidak
mengindahkan pernyataanku tentang rase capek yang begitu mengelayut di badan.
Ia malah menginjak pedal gas lebih dalam dan setelah beberapa saat, aku kembali
duduk. Satrio membawaku ke sebuah rumah makan.
“Pasti di sana kamu gak pernah makan makanan kayag
ginikan? Nah, makanya aku traktir.” Ujaran Satrio itu sedikit menyinggung
perasaanku. Memang benar di daerah tak pernah ada makanan semewah ini. Namun,
aku tetap bisa makan enak, ada ketulusan yang mengharukan dan memberikan aliran
bahagia saat menyantap makanan yang diolah dari sayuran dan bahan mentah lain
yang diberikan warga dengan suka cita padaku. Bahkan sambal terasi dengan jeruk
sambal segar yang diolah Imas dari hasil kebunnya sendiri jauh lebih nikmat
dari pada stek yang terhampar di depanku. Aku menatap Satrio sekilas, berat
badannya pasti naik beberapa kilo.
“Aku punya kawan di dinas, dan dengan
jentikkan jarinya saja, tuan putriku ini bisa tetap tinggal di kota. Aku sudah omong-omong dengan dia.” Ujaran Satrio
membuatku binggung dan pasti kebinggungan itu tergambar dengan jelas di wajahku
sehingga Satrio melanjutkan penjelasannya. “Di dinas provinsi, ada posisi yang
cocok buat mahasiswa cum laude S1 dari universitas ternama seperti kamu Ras. Kamu
tinggal duduk ngurusin administrasi, ndak perlu capek-capek dinas di daerah
terpencil.” Aku terkejut dan akibatnya kursi yang ku duduki ikut bergeser
mundur menimbulkan deritan yang asing. Keasingan yang jauh seperti keadaan
sosok di hadapakanku ini. Kemana Satrio yang dulu di masa kuliah membuatku
jatuh hati? Kemana Satrio yang dulu selalu bereaksi cepat saat rakyat kecil
terpijak? Kemana Satrio yang dulu selalu berteriak lantang demi bereaksi keras
menentang KKN? Kemana Satrio yang dulu dengan nurani lembutnya yang membuatku
kagum? “Aku tinggal telepon ne, dan
paling lambat minggu depan SK barumu turun.” Satrio masih belum menyadari
kemelut sukmaku.
“Kamu berubah!” Ujarku tajam dan segera
meninggalkan restoran.
No comments:
Post a Comment