“Jugun Ianfu .....” Marlena menjadi pucat
mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut tentara jepang yang masuk
belakangan.
“Marlena, lari....” ujar Lukman
dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Tentara Jepang yang berada paling dekat
dengan Lena menurunkan senjatanya. Ia menampar Lena berkali-kali, dan tanpa
ampun setelah Lena terperosok ke tanah, bahkan cairan merah mulai menetes dari
bibir pucat Lena. Ia menyambak dan menyeretnya ke arah luar. Perlawanan yang
diberikan Lena sungguh tak ada artinya bagi tentara yang terus tertawa seperti
setan itu, Lena menggelepar, menggeraskan badan, dan terus berteriak.
Lukman berusaha menolong, ia tak
peduli jika tubuhnya akan dijadikan sarang peluru Jepang. Ia tak mampu melihat
kekejian ini, ia teringat sepenggal kisah perwayangan, saat Dewi Drupadi siap
dicabik-cabik keangkaraan Kurawa saat suaminya Yudistira menjadikan dirinya
taruhan, namun dewata melindunginya, bukan dalam bentuk perlawan Pandawa tapi dalam
bentuk mukjizat saat kainnya tak habis ketika telah ditarik. Apa ini juga akan
terjadi pada Lena?
“Sudah Lukman.... sayangi nyawamu!
Nanti Nippon itu jadi menembakki kita semua. Toh dia juga anak penghianat ....”
Kini lukman terjatuh dari tempat tidurnya, ia tak bergeming dalam posisi
bersujud. Semua rasa sakit yang dirasakannya menjalar begitu hebat ke sepenjuru
tubuhnya, menggingatkan pada letupan granat yang menyapanya tadi sore.
Tiba-tiba saja pangkal sebuah senapan menghantam rahangnya berkali-kali dalam
upayanya untuk bangkit, ia tersungkur. Aliran darah yang tak asing bagi seorang
prajurit dirasakannya mengalir dan bersingkerama dengan indera kecapnya, asin.
Lukman mutlak dalam diam, bukan
karena mendengar perkataan Rustam yang tak tahu berterimakasih itu atau bahkan
karena seorang tentara Nippon yang selalu siaga di pintu tenda dengan senapan
terkokang. Ia sudah tidak mampu lagi berdiri, beberapa pukulan yang diterimanya
tadi membuat lututnya bergetar begitu hebat, juga pandangannya yang mengelap.
Tapi Marlena harus diselamatkan .... andai semua tahu bahwa menjadi anak
seorang penghianat bukanlah kemauannya. Juga segala kemewahan yang mendatangkan
penderitan baginya. Dan fakta mengerikan
bahwa Marlena dibiarkan begitu saja oleh orang yang berhutang budi begitu besar
padanya, yang ditolongnya dengan ketulusan hangat. Mereka yang tak berhati akan
membiarkan Lena menjadi seorang jugun ianfu. Kerabat dan kenalan yang
terpaksa menjadi seoarang jugun ianfu, tak pernah diketahui lagi
nasibnya, dan ini yang akan menimpa Lena, penderitaan, yang tak akan pernah
berakhir, dan berujung pada ketidakpastian.
Pandangan Lukman semakin menjadi
gelap..... semakin berat..... diiringi penyesalan yang semakin luar bisa.
Seandainya ia tak bertemu Marlena di gunung Lawu. Tak ada pelarian ke gunung
Lawu. Mungkin sekarang Marlena tetap bertahan di Jawa Tengah, merawat Mbah
Giyem , berkeluarga, beranak pinak, dan akhir yang indah untuknya.
No comments:
Post a Comment