Lukman
terperosok cukup jauh tanpa bisa mengendalikan tarikan gravitasi terhadap
tubuhnya. Jadilah pendaratan yang begitu menyakitkan karena kepalanya beradu
dengan sebuah batu.
Sumber Gambar: www.satriamandala.com
“Keadaanmu bagaimana hari ini,
Letnan?” Lukman yang baru membuka maka merasa begitu terkejut karena takdir
mempertemukan mereka kembali. “Sudah-sudah, jangan bangun!” Perbincanganpun
terjadi, menggingatkan Marlena saat pertemuan mereka di Gunung Lawu. Bahrun
yang menculiknya karena panik menemukan satu-satunya dukun beranak di kampung
yang ujur dan sakit-sakitan, Mbah Giyem. Lebih memilih memikul dirinya dengan keadaan terikat mendaki gunung Lawu
di tengah malam. Kemudian darahnya yang mendesir, mendidih karena melihat
Lukman tak pernah melepas tangan istrinya yang menyejan sakit. Juga tangis Sri
yang membahana hutan karena bocah yang dilahirkannya meninggal. Kebersamaannya
tiga hari merawat Sri yang baru melahirkan juga kebersamaannya dalam
debat-debat panjang dan alot bersama Lukman, persis sewaktu mereka di MULO.
Usahanya mencuri pandang pada Lukman, dan kepuasannya saat ia membiarkan Lukman
menatapnya lekat-lekat, seperti kesengajaannya pada masa mereka bersekolah,
beberapa tahun yang lalu. “Bagaimana kabar Sri?”
“Sri... tak pernah meninggalkan Gunung
Lawu, malaria mengerogotinya. Setelah kepergianmu, ia sering menggigil...
seminggu kemudian .... ah, kini ia terbaring di samping tole.”
“Innalillahiwainnahirajiun....” baru
saja selesai Lena menyatakan bela sungkawanya, keadaan di luar menjadi gaduh.
Derapan kasar dari sepatu prajurit beradu dengan kerikil-kerikil jalan.
Teriakkan dan letupan senjata kerap berulang kali terdengar di luar. Pramono,
satu-satunya tentara republik yang sehat ditugaskan menjaga tenda, siaga dalam
diam di balik pintu tenda. Namun, kesigapannya masih kalah cepat dengan pangkal
senjata yang membuatnya terkapar pingsan. Seorang tentara Jepang, menghadapkan
ujung senapannya pada para pasien. Marlena maju, “Tolong... di sini cuma ada orang
sakit.” tentara bermata sipit itu justru tertawa keras, ia memanggil rekannya
yang datang dengan terburu-buru, mereka tertawa lantang. Kedua tentara itu
dengan sigap tetap mengarahkan senjata pada tentara republik yang masih
sadarkan diri.
“Jugun
Ianfu .....” Marlena menjadi pucat mendengar kata-kata tersebut keluar dari
mulut tentara jepang yang masuk belakangan.
“Marlena, lari....” ujar Lukman
dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Tentara Jepang yang berada paling dekat
dengan Lena menurunkan senjatanya. Ia menampar Lena berkali-kali, dan tanpa
ampun setelah Lena terperosok ke tanah, bahkan cairan merah mulai menetes dari
bibir pucat Lena. Ia menyambak dan menyeretnya ke arah luar. Perlawanan yang
diberikan Lena sungguh tak ada artinya bagi tentara yang terus tertawa seperti
setan itu, Lena menggelepar, menggeraskan badan, dan terus berteriak.
Lukman berusaha menolong, ia tak
peduli jika tubuhnya akan dijadikan sarang peluru Jepang. Ia tak mampu melihat
kekejian ini, ia teringat sepenggal kisah perwayangan, saat Dewi Drupadi siap
dicabik-cabik keangkaraan Kurawa saat suaminya Yudistira menjadikan dirinya
taruhan, namun dewata melindunginya, bukan dalam bentuk perlawan Pandawa tapi dalam
bentuk mukjizat saat kainnya tak habis ketika telah ditarik. Apa ini juga akan
terjadi pada Lena?
“Sudah Lukman.... sayangi nyawamu!
Nanti Nippon itu jadi menembaki kita semua. Toh dia juga anak penghianat ....”
Kini lukman terjatuh dari tempat tidurnya, ia tak bergeming dalam posisi
bersujud. Semua rasa sakit yang dirasakannya menjalar begitu hebat ke sepenjuru
tubuhnya, menggingatkan pada letupan granat yang menyapanya tadi sore.
Tiba-tiba saja pangkal sebuah senapan menghantam rahangnya berkali-kali dalam
upayanya untuk bangkit, ia tersungkur. Aliran darah yang tak asing bagi seorang
prajurit dirasakannya mengalir dan bersingkerama dengan indera kecapnya, asin.
No comments:
Post a Comment