Ini
hari ketiga sakitnya saya. Memang tidak parah, masih bisa dirawat di rumah,
tapi cukuplah untuk membuat tidak bisa kemana-mana. Dalam keadaan sehat, saya
biasanya punya mobilisasi yang begitu luar biasa. Walaupun tidak ada kegiatan.
Saya akan menyempatkan berkeliling antar desa tempat tugas teman-teman yang
lain. Maklumlah, suasana dinas di desa memang agak membosankan. Biasanya dalam
seminggu paling lama 3 hari saya stanby di
pemondokan.
Sumber Gambar: www.radarbangka.co.id
Saya
sudah 3 bulan tinggal bersama *istilah kerennya home stay, dengan penduduk
lokal *kalau bahasa jujurnya numpang. Masa kontrak hanya 2 tahun membuat
pertimbangan akan lebih jauh menghemat dengan numpang saja. Dengan berbagai
pertimbangan, yang terpilih adalah rumah bambu khas Jabar, dengan dapur berlantai
tanah dan alhamdulillah kamar mandi di dalam, beda dari mayoritas tetangga yang
ber-MCK di luar. Kalau perumahan, rumah ini bertipe 21.
Saat
saya tidak kemana-mana, saya jadi bisa melihat banyak fakta. Di antaranya
pembagian raskin yang didapat setiap 26 hari sekali di dusun ini. Beras miskin
yang oleh ibu dimasak dengan dicampur beras yang baik kualitasnya. Kalau tidak
demikian, tenggorokan tak akan mau menelan.
Pagi
ini saya masih sakit, bubur jadi penganjal lambung yang sering perih. Beras
dari kantong saya genggam untuk dipindahkan ke panci. Kulit padi masih juga
banyak tercampur di situ selain debu putih yang mengepul ketika bulir beras
terjatuh di dasar panci. Di kepalan terakhir, saya terkejut, ada geliatan lunak
yang berusaha lolos dari jari-jari saya. Ketika kepalan itu saya buka, dengan
jelas saya melihat ulat kecil berwarna merah di antara beras-beras yang
menempel. Hampir saya berteriak.... saya hilangkan rasa geli dan lanjut ke
kamar mandi untuk mencuci beras. Cucian pertama berwarna agak kecokelatan,
entahlah seperti pembuktian perjalanan dan rentang
waktu seperti apa yang ditempuh beras sehingga sampai ke rumah si miskin.
No comments:
Post a Comment