Cerbung: Akhir Dibukan AKhir (6)

Wajah pertama yang kulihat dalam keremangan api ungun malah membuat  keterkejutan yang maha dasyat. Apa penglihatanku sudah mulai rusak... Apa ini mimpi? Ternyata keterkejutan itu tidak hanya ku alami sendiri karena sosok di depanku juga menampakkan ekpresi yang sama denganku. “Lukman.....,.” keluar saja suaraku dengan spontan dari tenggorokan yang tercekat kering. Bayang-bayang masa lalu kembali berputar di benak.
 .....
Desember 1943
Mbok Gimin telah meninggal dan tak ada alasan lagi Marlena untuk bersembunyi di desa itu, satu-satunya tempat yang tak mengenalinya sebagai putri dari Suryolaksono. Mungkin juga karena tertular semangat revolusi Lukman yang dijumpainya berbulan-bulan lalu.
Sumber Gambar: hiburan.kompasiana.com

 Kini tak ada lagi pemandangan indah di Jogja, barisan-barisan sepeda telah diganti dengan tumpukkan karung pasir dan kawat berduri. Amis dan anyir darah mendominasi, tiga tenda yang masing-masing berukuran lapangan tenis berisi penuh dengan pesakitan. Di tempat inilah akhirnya Marlena terdampar, bergulat dengan korban perang dan aroma antiseptik yang menyengat. Awal tugasnya Marlena memang begitu kewalahan karena hanya dua tenaga yang tersedia untuk mengurus tentara republik berpuluh-puluh. 

Yang parah akan dibaringkan pada ranjang-ranjang lipat yang tak pernah bersih dengan noda dan aroma dari darah, nanah, bahkan kotoran. Sedangkan yang tidak begitu parah dibiarkan saja berbaring atau duduk di tanah. Pada dua bulan pertama adalah masa paling sulit yang dialami Lena, bukan hanya karena jumlah pesakitan yang begitu banyak namun karena ulah seorang tentara tua yang selalu berusaha mempersulit Lena dan berteriak memberitahu rekannya bahwa ia adalah anak dari Suryolaksono, seorang penjilat yang telah merebut sawah-sawah, harta, bahkan anak dan istri mereka. Marlena begitu tersayat, luka-luka lama yang belum sepenuhnya pulih akibat perbuatan ayahnya seperti ditaburi dengan garam. Namun, dengan penuh kesabaran dan kasih sayang para prajurit bisa menyaksikan dan membuktikan sendiri bahwa Marlena begitu berbeda dengan ayahnya.
            Petang itu Marlena tengah membalut luka seorang prajurit yang terkena granat tangan, ia harus dioperasi. Lena mencoba membersihkan luka-luka yang mengganga itu agar tidak terjadi infeksi, ia juga berusaha menghentikan darah yang terus saja mengalir. Prajurit tersebut sudah tak sadarkan diri, sebagian wajahnya rusak bahkan daun telingga kirinya sudah hancur. Lengannya terus mengeluarkan darah. Marlena merasa begitu iba, ia ingin menangis melihat penderitaan rekan-rekannya ini, namun dalam benaknya ia berusaha menguatkan diri. Apa yang terjadi pada semua pasien jika melihat Marlena menaggis, ia satu-satunya penguat mereka di sini. Dari kejauhan terdengar beberapa prajurit berlari pelan. Marlena telah hapal derapan setiap langkah para prajurit yang membawa tandu, langkah mereka akan begitu berat namun begitu tergesa-gesa.
            “Len.... cepat bantu Letnan ini, ia mengalami pendarahan hebat.” Ujar sang prajurit ketika menyingkap pintu tenda.  Marlena tercicit pelan ketika menghampiri tandu, di sana Lukman terbaring tak berdaya dengan wajah meringis. Ia meracau, mengigau, antara sakit dan ketidaksadaran. Luka Lukman diakibatkan oleh sebuah granat yang dilemparkan oleh pelempar garanat, jaraknya bisa mencapai 50 meter lebih. Beruntung Lukman hanya terkena serpihan saja, namun manuver yang di lakukannya untuk menghindar membuat dirinya terluka cukup parah. Medan perang berupa bukit-bukit terjal, maka dalam upaya menghindarnya itu, Lukman terperosok cukup jauh tanpa bisa mengendalikan tarikan gravitasi terhadap tubuhnya. Jadilah pendaratan yang begitu menyakitkan karena kepalanya beradu dengan sebuah batu.

No comments:

Post a Comment

Resensi Fortunately The Milk Karya Neil Gaiman

Buku cerita anak yang saya baca ini merupakan terbitan Gramedia pada tahun 2014. Karya Neil Gaiman yang diterbitkan pertama kali pada tahun ...