Wajah pertama yang kulihat dalam keremangan api ungun malah
membuat keterkejutan yang maha dasyat.
Apa penglihatanku sudah mulai rusak... Apa ini mimpi? Ternyata keterkejutan itu
tidak hanya ku alami sendiri karena sosok di depanku juga menampakkan ekpresi
yang sama denganku. “Lukman.....,.” keluar saja suaraku dengan spontan dari
tenggorokan yang tercekat kering. Bayang-bayang masa lalu kembali berputar di
benak.
.....
Desember 1943
Mbok Gimin telah meninggal dan tak ada alasan lagi Marlena untuk
bersembunyi di desa itu, satu-satunya tempat yang tak mengenalinya sebagai
putri dari Suryolaksono. Mungkin juga karena tertular semangat revolusi Lukman
yang dijumpainya berbulan-bulan lalu.
Sumber Gambar: hiburan.kompasiana.com
Kini tak ada lagi pemandangan
indah di Jogja, barisan-barisan sepeda telah diganti dengan tumpukkan karung
pasir dan kawat berduri. Amis dan anyir darah mendominasi, tiga tenda yang
masing-masing berukuran lapangan tenis berisi penuh dengan pesakitan. Di tempat
inilah akhirnya Marlena terdampar, bergulat dengan korban perang dan aroma antiseptik
yang menyengat. Awal tugasnya Marlena memang begitu kewalahan karena hanya dua
tenaga yang tersedia untuk mengurus tentara republik berpuluh-puluh.
Yang parah
akan dibaringkan pada ranjang-ranjang lipat yang tak pernah bersih dengan noda
dan aroma dari darah, nanah, bahkan kotoran. Sedangkan yang tidak begitu parah
dibiarkan saja berbaring atau duduk di tanah. Pada dua bulan pertama adalah
masa paling sulit yang dialami Lena, bukan hanya karena jumlah pesakitan yang
begitu banyak namun karena ulah seorang tentara tua yang selalu berusaha
mempersulit Lena dan berteriak memberitahu rekannya bahwa ia adalah anak dari
Suryolaksono, seorang penjilat yang telah merebut sawah-sawah, harta, bahkan
anak dan istri mereka. Marlena begitu tersayat, luka-luka lama yang belum
sepenuhnya pulih akibat perbuatan ayahnya seperti ditaburi dengan garam. Namun,
dengan penuh kesabaran dan kasih sayang para prajurit bisa menyaksikan dan
membuktikan sendiri bahwa Marlena begitu berbeda dengan ayahnya.
Petang itu Marlena tengah membalut
luka seorang prajurit yang terkena granat tangan, ia harus dioperasi. Lena
mencoba membersihkan luka-luka yang mengganga itu agar tidak terjadi infeksi,
ia juga berusaha menghentikan darah yang terus saja mengalir. Prajurit tersebut
sudah tak sadarkan diri, sebagian wajahnya rusak bahkan daun telingga kirinya
sudah hancur. Lengannya terus mengeluarkan darah. Marlena merasa begitu iba, ia
ingin menangis melihat penderitaan rekan-rekannya ini, namun dalam benaknya ia
berusaha menguatkan diri. Apa yang terjadi pada semua pasien jika melihat
Marlena menaggis, ia satu-satunya penguat mereka di sini. Dari kejauhan
terdengar beberapa prajurit berlari pelan. Marlena telah hapal derapan setiap
langkah para prajurit yang membawa tandu, langkah mereka akan begitu berat
namun begitu tergesa-gesa.
“Len.... cepat bantu Letnan ini, ia
mengalami pendarahan hebat.” Ujar sang prajurit ketika menyingkap pintu tenda. Marlena tercicit pelan ketika menghampiri
tandu, di sana Lukman terbaring tak berdaya dengan wajah meringis. Ia meracau,
mengigau, antara sakit dan ketidaksadaran. Luka Lukman diakibatkan oleh sebuah
granat yang dilemparkan oleh pelempar garanat, jaraknya bisa mencapai 50 meter
lebih. Beruntung Lukman hanya terkena serpihan saja, namun manuver yang di
lakukannya untuk menghindar membuat dirinya terluka cukup parah. Medan perang
berupa bukit-bukit terjal, maka dalam upaya menghindarnya itu, Lukman terperosok
cukup jauh tanpa bisa mengendalikan tarikan gravitasi terhadap tubuhnya.
Jadilah pendaratan yang begitu menyakitkan karena kepalanya beradu dengan
sebuah batu.
No comments:
Post a Comment