Cerbung: Akhir Dibukan Akhir (5)

“Man... aku dan Mono bikinin tandu ya..?” Pertanyaan Bahrun tersebut membuat Lukman kembali menginjak bumi. Bahrun memperhatikan mimik kosong pada wajah Lukman, ia tampak begitu syok dengan kekalahan atau apapun yang menjadi kekalutan dalam pikirannya. Bahrun melirik Sri. Barulah dengan isyarat tersebut Lukman mengerti maksud rekannya dan memberikan anggukan kecil persetujuan. Sang istri yang digandeng tengah hamil tujuh bulan. Sri yang tampak sangat sabar dan pengertian dengan kondisi suami, tersenyum kecil saat Lukman melirik padanya. Namun perjalanan 10 km yang ditempuh dengan berjalan kaki tak mampu menyembunyikan ekspresi rasa kecapekannya. Sri dengan perut yang semakin membesar tampak begitu rapuh. Lukman merasa sangat kuatir dengan keadaan istri dan bakal anaknya, kenapa harus jadi seperti ini?
Sumber gambar: mubi.com

Rentetan peluru yang tiba-tiba menghujani barisan pengungsi membuat kepanikkan. Dengan pikiran yang begitu kalut kesigapan Lukman menjadi berkurang. Sebagian besar pengungsi yang merupakan penduduk sipil dicerkam kepanikan tanpa mampu berpikiran jernih, mereka berlarian kesegala penjuru dan menjadi sasaran empuk. Lukman segera mengiring Sri ke tempat yang lebih aman. Tangannya berusaha menggapai senapan yang biasa tergantung di pundaknya. Tapi tak ada senjata di sana, yang didapatnya hanya buntalan kain sarung berisi pakaian Sri. Ia ingat senapannya dibawakan oleh Bahrun. Peluru-peluru tersebut beterbangan tak jauh dari telinga mengakibatkan suara desingan yang begitu mengerikan. Bau amis darah semakin kentara di udara. Teriakan-teriakan penderitaan jiwa manusia yang dieksekusi paksa membuat suasana semakin mencekam.

....
April 1943
Lukman
Bukit selatan yang membara itu dapat kusaksikan dengan jelas dari posisiku sekarang. Sri yang mengintip dari balik punggungku bergetar dengan begitu hebat menyaksikan semua ini. Kasihan dia, aku gagal memberinya kehidupan yang tenang dan tentram. Namun, sebagian diriku berusaha menyangkal, membela diri sendiri bahwa apa yang terjadi sekarang benar-benar di luar kuasaku, semua tentang perang ini. Bukan salahku juga jika Jepang menjadi begitu tamak untuk mencaplok negeri kami yang kaya.
Korban yang berjatuhan tak mampu diperkirakan lagi, yang berhasil menyelamatkan diripun berpisah satu sama yang lain. Beruntung kami tetap bisa bersama Bahrun, tapi Laksmono... entahlah... bagaimana nasibnya sekarang.  
....
Mei 1943
Marlena
Kekelaman baru saja sirna dari pandangan. Mataku menyesuaikan pupilnya pada cahaya yang kembali  masuk. Lain halnya dengan mata sebagai indera penglihatanku, indera pendengaranku menjadi semakin tajam. Dinyanyian hutan yang  begitu merdu terdengar erangan sakit. Aku yakin pesakitan itu seeorang wanita, terbesit juga dalam pikiranku mengapa ada seorang wanitia di tengah hutan dan merintih sakit? Malam yang mulai berakhir sebentar lagi menampilkan langit yang begitu indah.
Sang penculikku menyeret kasar  ke arah api unggun yang merupakan satu-satunya penerangan di sini, setidaknya membuat ku sedikit tenang karena tidak berada di kekelaman yang mutlak. Atau lega sebentar lagi akan mengetahui alasan yang membuatku berada di tengan rimba Gunung Lawu.
Wajah pertama yang kulihat dalam keremangan api ungun malah membuat  keterkejutan yang maha dasyat. Apa penglihatanku sudah mulai rusak... Apa ini mimpi? Ternyata keterkejutan itu tidak hanya ku alami sendiri karena sosok di depanku juga menampakkan ekpresi yang sama denganku. “Lukman.....,.” keluar saja suaraku dengan spontan dari tenggorokan yang tercekat kering. Bayang-bayang masa lalu kembali berputar di benak.

No comments:

Post a Comment

Resensi Fortunately The Milk Karya Neil Gaiman

Buku cerita anak yang saya baca ini merupakan terbitan Gramedia pada tahun 2014. Karya Neil Gaiman yang diterbitkan pertama kali pada tahun ...