“Man... aku dan Mono bikinin
tandu ya..?” Pertanyaan Bahrun tersebut membuat Lukman kembali menginjak bumi.
Bahrun memperhatikan mimik kosong pada wajah Lukman, ia tampak begitu syok
dengan kekalahan atau apapun yang menjadi kekalutan dalam pikirannya. Bahrun
melirik Sri. Barulah dengan isyarat tersebut Lukman mengerti maksud rekannya
dan memberikan anggukan kecil persetujuan. Sang istri yang digandeng tengah
hamil tujuh bulan. Sri yang tampak sangat sabar dan pengertian dengan kondisi
suami, tersenyum kecil saat Lukman melirik padanya. Namun perjalanan 10 km yang
ditempuh dengan berjalan kaki tak mampu menyembunyikan ekspresi rasa kecapekannya.
Sri dengan perut yang semakin membesar tampak begitu rapuh. Lukman merasa sangat
kuatir dengan keadaan istri dan bakal anaknya, kenapa harus jadi seperti ini?
Sumber gambar: mubi.com
Rentetan peluru yang tiba-tiba menghujani barisan pengungsi membuat
kepanikkan. Dengan pikiran yang begitu kalut kesigapan Lukman menjadi
berkurang. Sebagian besar pengungsi yang merupakan penduduk sipil dicerkam
kepanikan tanpa mampu berpikiran jernih, mereka berlarian kesegala penjuru dan
menjadi sasaran empuk. Lukman segera mengiring Sri ke tempat yang lebih aman.
Tangannya berusaha menggapai senapan yang biasa
tergantung di pundaknya. Tapi tak ada senjata di sana, yang didapatnya hanya
buntalan kain sarung berisi pakaian Sri. Ia ingat senapannya dibawakan oleh
Bahrun. Peluru-peluru tersebut beterbangan tak jauh dari telinga mengakibatkan
suara desingan yang begitu mengerikan. Bau amis darah semakin kentara di udara.
Teriakan-teriakan penderitaan jiwa manusia yang dieksekusi paksa membuat
suasana semakin mencekam.
....
April 1943
Lukman
Bukit selatan yang membara itu dapat kusaksikan dengan jelas dari
posisiku sekarang. Sri yang mengintip dari balik punggungku bergetar dengan
begitu hebat menyaksikan semua ini. Kasihan dia, aku gagal memberinya kehidupan
yang tenang dan tentram. Namun, sebagian diriku berusaha menyangkal, membela
diri sendiri bahwa apa yang terjadi sekarang benar-benar di luar kuasaku, semua
tentang perang ini. Bukan salahku juga jika Jepang menjadi begitu tamak untuk
mencaplok negeri kami yang kaya.
Korban yang berjatuhan tak mampu diperkirakan lagi, yang berhasil
menyelamatkan diripun berpisah satu sama yang lain. Beruntung kami tetap bisa
bersama Bahrun, tapi Laksmono... entahlah... bagaimana nasibnya sekarang.
....
Mei 1943
Marlena
Kekelaman baru saja sirna dari pandangan. Mataku menyesuaikan pupilnya
pada cahaya yang kembali masuk. Lain
halnya dengan mata sebagai indera penglihatanku, indera pendengaranku menjadi
semakin tajam. Dinyanyian hutan yang
begitu merdu terdengar erangan sakit. Aku yakin pesakitan itu seeorang
wanita, terbesit juga dalam pikiranku mengapa ada seorang wanitia di tengah
hutan dan merintih sakit? Malam yang mulai berakhir sebentar lagi menampilkan
langit yang begitu indah.
Sang penculikku menyeret kasar
ke arah api unggun yang merupakan satu-satunya penerangan di sini,
setidaknya membuat ku sedikit tenang karena tidak berada di kekelaman yang
mutlak. Atau lega sebentar lagi akan mengetahui alasan yang membuatku berada di
tengan rimba Gunung Lawu.
Wajah pertama yang kulihat dalam keremangan api ungun malah
membuat keterkejutan yang maha dasyat.
Apa penglihatanku sudah mulai rusak... Apa ini mimpi? Ternyata keterkejutan itu
tidak hanya ku alami sendiri karena sosok di depanku juga menampakkan ekpresi
yang sama denganku. “Lukman.....,.” keluar saja suaraku dengan spontan dari
tenggorokan yang tercekat kering. Bayang-bayang masa lalu kembali berputar di
benak.
No comments:
Post a Comment