Uh... aku memang kagum padanya. Begitu kagum hingga tak mampu menentukan posisi
diriku, sebagai temankah, sebagai seorang pemujakah, atau sebagai... laksana
kaum papa yang mengadahkan tangan terbuka yang kosong, lalu di isi dengan apa
tangan itu, apa yang aku harapkan....
Perdebatan yang begitu menarik
tersebut segera saja menjadi kenangan, satu-satunya kenangan indah di MULO yang
hanya beberapa bulan. Kenangan indah selain senyuman-senyuman seberharga madu
asli dari hutan terdalam yang hanya bisa ku dapat dari kejauhan, dengan usaha
yang kulakukan dalam diam untuk mencuri dan merekam bayangan tentangnya.
Sumber Gambar: www.picstopin.com
Hampir dua tahun berjalan setelah
keluarnya aku dari MULO. Hari itu hujan telah mengguyur Jogja lebih dari
beberapa jam. Karenanya cipratan-cipratan air yang tergenang di jalan terkena
lindasan ban delman atau pengendara sepeda yang nekat menjadi simfoni indah
penghibur kebosanan. Disaat pikiranku tengah menggabungkan simfoni sederhana
alam dengan indahnya lagu gubahan WR.Supratman Indonesia Raya yang mendayu
perasaan dengan hembusan surgawai biola, ketukkan pelan itu terulang di pintu
depan. Aku bergegas dalam diam menggingat tugas memang mengharuskan menerima
seorang tamu penting. Cucuran atap yang tidak begitu jauh membuat tamu yang
telah kuyub semakin menggigil dalam pakaiannya. Ia adalah seorang wanita dengan
rambut sebahu dan saat ia menggangkat wajahnya perasaan senang menghambur dari
pembuluh darahku memenuhi jantung, aku segera mempersilahkannya masuk.
Kami bertemu kembali dalam kesayuan
alam dalam kerapuhan masa. Marlena kini duduk di ruang tamu dengan tangan yang
bergetar dalam upayanya menyeruput teh panas. Entah apa karena cuaca atau
karena alasannya datang kemari. Aku menunggu dengan degupan jantung yang saling
berpacu, laksana hentakkan kaki kuda-kuda unggul dalam balap kuda.
Aku merintis karier di tentara
pemberontak, tentunya pemberontakkan versi Belanda karena sebenarnya kami cuma
ingin mengambil yang menjadi hak kami. Rekan-rekan yang mengetahui latar
belakang romo sebagai carik segera
saja mempromosikan aku diposisi sekretaris di pos kecil kami. Mereka beragumen karena aku dibesarkan
dilingkungan pemerintahan yang begitu kental dengan urusan administrasi
pastinya menjadi modal dasar untuk tugasku selanjutnya. Karena itulah sekarang
hanya aku dan Marlena yang berada di ruang ini. Tugasku juga menggantikan posisi
bang Sigar saat mendapat informasi dari rekan-rekan yang menyusup di
pemerintahan kolonial, namun aku benar-benar tak mengira akan berjumpa dengan
Marlena ditugas pertamaku. Aku menjadi was-was, bagaimana jika ada sekumpulkan
tentara Belanda melakukan inspeksi mendadak, lalu melihat aku dan Marlena. Kami
mungkin akan mengaku sebagai sepasang kekasih yang tengah melepas rindu, dan
semoga saja memang ada belanda-belanda iseng tersebut.
Marlena tampak begitu gugup, bola matanya yang biasanya tampil indah
dan memancarkan keanggunan, kini bergerak begitu liar. Ucapan yang keluar dari
mulutnya juga tanpa basa-basi. Hanya sekitar sepuluh menit informasi berharga
ini sudah berpindah, dan Marlena segera bergegas pergi. Berbeda sewaktu di
MULO, sekarang ia tampak tak menggenalku atau memang telah melupakanku. Hanya
itu pertemuanku dengan Marlena, selanjutnya yang aku tahu dia memang rutin
memberikan informasi bagi tentara kemerdekaan. Apa dan pada siapa informasi
tersebut diberikan menjadi rahasia.
No comments:
Post a Comment