17 Agustus 2012, Kalibata gelap gulita.
Beberapa saat sebelumnya, ini bukan kali pertama aku
menginjakkan kaki di ibu kota. Akan tetapi, ini kali pertama aku terpisah dari
rombongan. Aku luar biasa gelisah mengingat aneka berita belakangan yang masih
hangat terjadi di ibu kota. Busa empuk yang melapisi kursi-kursi penumpang
terasa tajam berisis kerikil.
“Kamu naik damri Pasar Minggu, lalu berhenti di halte
Kalibata ya... ntar abang jemput,”
suara bang Lukman terus terngiang. Suara itu membuat jantung yang semula
gelisah menjadi agak mereda.
“Neng, ni halte Kalibatanya.
Kopernya yang mana ya?” kondektur bertanya dengan logat lokal yang khas.
“Cuma
bawa ini pak,” jawabku sambil mengangkat bahu tempat tersandangnya ransel yang
menempel di punggung.
Sang dewi tampak anggun membiasi lebatnya pepohonan.
Begitu juga lampu kendaraan yang berkelebat membuat bias-bias indah. Aku terus
kembali mencoba menenangkan diri dengan
latar kegelapan malam. Aku terus saja mengetuk-ketukkan jemari dengan irama tak
beraturan. Aku mendengus sekencang mungkin.
Asyik
dengan ketukan jari yang temponya semakin cepat, tiba-tiba saja tanpa ku sadari
di ujung halte telah duduk seorang pria. Ia tersenyum sopan sambil menganggukan
kepala. Ia tampak berusia sekitar akhir 20-an.
Aku berupaya membunuh kebosanan dengan menghitung tiap angkot yang lewat.
Ketika telah menghitung hingga angkot ke-5, terdengar sayup-sayup nyanyian
harmonika. Aku mengenali nada tersebut sebagai irama dari sebuah lagu wajib.
...
Hati ikhlasku penuh
Atas karuniamu
Tanah air pusaka
Indonesia tercinta
Syukur aku sembahkan
Kehadirat-Mu Tuhan
Aku berusaha mengikuti
irama dengan lirik yang ku lisankan saja lewat sukma. Sanubari mendadak miris.
“Mumpung kita
di Kalibata mbak,” ujar pria tersebut
sambil memasukkan harmonikanya ke dalam saku. Garis wajahnya indah,
tulang-tulang yang membingkai tampak tegas berwibawa, namun juga memancarkan
kelembutan. Kemeja biru mudanya tampak serasi bersanding dengan kulit sawonya.
Jins pilihannya tampak selaras dengan sepatu kulit yang mengilap.
Pejalan kaki lain datang, mereka tampak saling kenal,
saling bertukar sapa mesti jaraknya masih lumayan jauh.
“Kok tasnya
ditinggal? Pulang ya... Aku kasih rokok deh,
tapi pulang ya!” Pria tersebut mengeluarkan sebatang rokok yang langsung
disambar pria harmonika. Ia segera beranjak sambil menyelipkan gulungan rokok
di antara bibirnya. “Maklum ya mbak...,” pria kedua berujar padaku sambil
memiringkan jari telunjuk di depan dahinya.
menurut aku momen yang paling ngena dari FF ini adalah waktu tokoh aku nyanyi lagu wajib di hatinya bersama-sama dengan alunan harmonika. itu Indonesianya dapet.
ReplyDeletedan kesan "jleb" juga dapet dari pemain harmonika yang ujung-ujungnya gila. kalo boleh dibilang flashfiction ini BAGUS BANGET :)
Mksih ya...
ReplyDeletesy msh bljar n btuh bnyk saran... ^_^V
bagus bagus bagus
ReplyDeletecerita yang terinspirasi dari pengalaman pribadi ya? :P
ada pesan yang tersembunyi. seorang gila bahkan menghargai pahlawan, kenapa kita yang waras tidak? jadi siapa yang gila sebenarnya?
ReplyDeleteSetuju! Itu yang ingin ditekankan, dan aku suka sekali cara penyampaiannya yang secara tidak langsung! :D
DeleteYaph. Iya, jadi siapa yang gila?
Deleteall: ooohhh gitu ya... emng fiksi itu mngandung interpretasi ganda ya, kk gk mksud seprti yg kalian bilang, he3... cuma mngambarkn realita dg sdikit bumbu imjinasi saja.
DeleteYg gila pastiny bukan saya, sya hanya mcoba terus waras dg terus mnulis... ^_^V
Saya tahu mana yang realita dan mana yang fiktif belaka, hahaha. Hidup mati Kak Yani berada di tangan saya!!! huehehehe
ReplyDelete