“Penulis
yang baik, akan mampu menjadi penawar.”
.
Saya lupa sumber kutipan itu, tapi kalimat di
ataslah yang menjadi motivasi besar keinginan saya menjadi penulis. Penawar
bisa diasosiasikan dengan obat, mampu memberikan kesembuhan, atas kepiluan, kesedihan, kegelisahan, dan lain-lain. Memang benar adanya seperti
itu, sebuah kebijaksanaan yang terekam dalam buku akan memberi motivasi yang
tepat.
Sumber foto: dokumentasi pribadi
Beruntungnya lagi, di awal tahun ini, saya
menghabiskan buku berjudul “When Breath Become Air.” Sudah diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia. Buku ini merupakan sebuah memoar, Kisah seorang Dokter
Bedah Syaraf yang mengidap kanker paru-paru di masa residennya.
Hancur… Miris… Melihat mimpi yang akan menjadi
nyata tiba-tiba mesti rubuh ketika segala perjuangan dan proses telah
dilalui. Tapi tetap ada saja nilai-nilai
kebijakan yang dapat diambil. Bahwa tak peduli seberapa besar manusia berusaha,
tetap tak berdaya melawan yang telah ditetapkan Tuhan.
Dokter Paul Kalanithi menulis buku ini
disela-sela kesibukannya saat menjadi residen dan pasien. Sebuah dedikasi dan
perjuangan yang perlu ditiru. Gaya bahasa yang digunakan begitu enak dinikmati
karena beliau memang memiliki hobi membaca karya sastra dunia. Tak heran buku yang ditulis dengan hati akhirnya
bisa berada 21 minggu di puncak New York Times Best Seller. Sebuah jaminan
untuk buku-buku berkualitas tinggi.
Ahhh…. Baper tingkat dewa saya. Ketika keadaan
kesehatan dan ritme kerja dr. Paul Kalanithi mulai membaik. Saya juga berharap hal tersebut terus
berlangsung, orang baik berhak mendapat kesempatan kedua. Akan tetapi, sangat
disayangkan ketika bagian akhir buku mesti dilanjutkan oleh sang istri.
Selamat membaca handaitolan, selamat menyelami
penemuan tentang hidup.
No comments:
Post a Comment