Ketika jalan-jalan ke toko buku beberapa tahun
terakhir ini, rasa takjub saya jadi semakin luar biasa. Sekitar 5-6 tahun lalu,
penerbitan buku umumnya didominasi oleh penulis-penulis ternama. Nah, kalau
sekarang, begitu banyak pilihan hingga berkali-kali lipat. Pembaca disuguhkan
dengan berbagai macam alternative akan membeli dan membaca genre buku apa, dari
penulis siapa.
Rasa binggung membuat saya sering tergamang
ketika membeli buku, yaaa… terutama jika datang ke toko buku yang begitu megah.
Kadang memang ada gambaran akan membeli buku tertentu, tapi ada kalanya membeli
buku menarik yang saya temui.
Sumber foto: dokumentasi pribadi
Masing-masing kita pasti punya pertimbangan
untuk membeli suatu buku. Bisa jadi melengkapi karya dari penulis yang jadi
favorit kita. Bisa jadi hal-hal random lainnya. Nah, saya biasanya akan melihat
gaya bahasa penulis. Tidak peduli ia belum punya nama atau tidak sepopuler
penulis besar. Saya malah tidak suka hal mainstream seperti ikut latah membaca
karya penulis yang popularitasnya tinggi. Hidup mesti punya prinsip kan, bro.
Penulis lokal Kalbar ternyata memiliki kualitas
yang tidak diragukan lagi. Tapi untuk keberlanjutan karya dan publikasi, memang
masih begitu sepi. Saya sendiri, yang memang tidak terlalu update, hanya
mengenal tiga nama. Mereka Pay Jarot Sujarwo, Bernanrd Batu Bara, dan Kakanda
Redi. Terlepas genre yang dihasilkan, tapi paling tidak, tiga nama ini yang
terus menghasilkan karya.
Karya-karya Bang Pay juga belum semuanya saya baca.
Akan tetapi, di tahun-tahun terakhir ini, karya yang dikeluarkan lebih berupa memoar
perjalanan beliau ke luar Indonesia. Saya masih ingat, ketika beliau
meluncurkan buku Pontianak “Teenager”
Under cover, kisah gelap anak muda Pontianak (saya belum baca juga). Sebuah
novel yang membuat namanya terangkat di samping serangkaian kegiatan kepenulisan
yang sering dibuatnya.
Penulis asal Kalbar yang lain, Bernard Batubara.
Penulis yang satu ini, tidak lagi berdomisili di Kota Pontianak. Beliau sudah
melahirkan banyak karya yang cendrung lebih pop untuk kalangan pembaca muda. Tapi
yang menjadi sorotan dan masih terus saya cari adalah Kumcer Metafora Padma. Di latari konflik yang
pernah terjadi di Kalbar, saya penasaran dengan latar social-budaya yang
terekam pada karya fiksi ini.
Penulis ketiga, yang saya kenal secara pribadi
adalah Kakanda Redi. Beliau mungkin belum punya nama sebesar 2 penulis
sebelumnya. Tapi karya-karyanya cocok atau sesuai selera saya. Maafkan
subjektivitas saya yaa… Masih aktif sebagai pengajar Bahasa Indonesia, beliau
konsisten menerbitkan buku kumpulan cerpennya. Bukan versi terbaru, tapi saya
sangat suka, Romantisme Sunyi.
Semoga kedepan akan makin banyak karya-karya yang
berasal dan tentang Kalimantan Barat.
No comments:
Post a Comment