Masih ingat ngak dengan buku pertama yang
pernah dibaca? Normal tidak ketika kita masih menginggatnya? Mungkin karena
begitu berkesan ya? Atau bisa jadi juga karena alasan lain. Hal ini yang
terjadi dengan saya. Saya masih ingat ketika lancar membaca dan menginjakan
kaki ke perpustakaan kecil kami. Mungkin sebelumnya sudah ada buku pelajaran
dan majalah bobo, tapi ini adalah buku pertama saya selain itu. Sebuah buku
tipis bercerita tentang seorang penemu, Louis Pasteur.
Sumber foto: mhpbooks.com
Sebagai seorang anak kecil yang langsung
tersedot masuk ke dalam buku. Saya membayangkan turut berada di pedalaman
Perancis tempat penemu menyepi untuk melakukan eksperimennya. Turut sedih,
ketika si “hero” dicap oleh masyarakat sekitar kurang waras dikarenakan aneka
kebiasaannya. Turut senang ketika ada perkembangan kecil penemuan bahkan dari
ketidaksengajaan. Begitu bersemangat karena akhirnya setelah berbagai rintangan
akhirnya vaksin rabies ditemukan.
Setelahnya, saya begitu termotivasi untuk
membaca. Membaca dapat melampiaskan rasa penasaran sekaligus menambah dahaga
untuk rasa itu J
eaaaakkk. Semua saya dapat dari sudut berdebu perpustakaan kami. Kejanggalan
yang lumrah di negara kita, ketika perpustakaan atau sudut baca menjadi begitu
sepi. Ketika, dibeberapa perpustakaan, saya akan bersin-bersin sebagai reaksi
alergi. Atau bahkan lebih ekstrim lagi, membantu pustakawan menemukan
rayap-rayap yang mengerogoti buku.
Budaya baca yang rendah menjadi penyebab utama
hal di atas. Perpustakaan dan buku-bukunya pun menjadi hal membosankan.
Pustakawan dan guru pembina hanya menjalankan kewajiban administrasi semata.
Mereka tertib menjaga kerapian buku di rak, walaupun tak ada yang membaca.
Seharusnya pada usia-usia mudalah, anak-anak
kita dididik mencintai buku. Ditumbuhkan kebiasaan untuk gemar membaca. Akan
jadi misi yang semakin sulit tampaknya dikarenakan perkembangan teknologi
teranyar. Terutama saat anak bertambah usia, dan terlanjur terpapar dengan
dampak dunia internet. Buku dengan bentuk 2 dimensi, mesti bersaing dengan mbah
Google yang menyajikan informasi lebih mudah, cepat, dan tentu saja instan. Tapi, buku tetaplah menjadi sumber pengetahuan
terpercaya dibandingkan hal-hal yang dapat dengan mudah diciptakan di dunia
maya.
Menjadi PR bersama agar generasi yang begitu
belia menjadi menyenangi buku dengan sukarela. Mungkin ini yang menjadi misi
beberapa teman yang concern membangun perpustakaan. Teman-teman yang
semangatnya perlu kita tiru. Teman-teman yang menyadari bahwa buku pertama yang
dibaca oleh seorang anak akan tertatam dihati dan membawa dampak jangka
panjang. Teman-teman yang menyadari bahwa waktu kita sebenarnya tidak banyak
untuk menanamkan kebiasaan ini. Kebiasaan yang harus ditanam sejak dini.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk pihak yang
berjuang. Pejuang yang –kalau boleh— saya sebut teman. Teman-teman dari
berbagai pihak, pengiat TBM (Taman Bacaan Masyarakat) di seluruh Indonesia. Teman-teman
dari berbagai organisasi dan berbagai program, ada NPO (Non Profit Organization)
dan NGO (Non Government Organization). Juga berbagai program dari pemerintah
yang memberikan dukungan. Juga pihak-pihak yang peduli lainnya yang tidak bisa
saya sebutkan satu-satu. Mungkin kelak akan saya review ke depan.
Tabek buat mereka di antaranya Singkawang
Membaca https://www.facebook.com/search/top/?q=singkawang%20membaca, Aku Belajar https://www.instagram.com/akubelajar_id/?hl=en, dan Taman Bacaan Pelangi https://tamanbacaanpelangi.com/.
No comments:
Post a Comment