Saya sama sekali tidak ada gambaran apa itu
Bekana oleh Juan Arminandi. Saya hanya mengira-ngira ini mungkin pertunjukan
teater. Saya melihat poster promo di medsos seorang teman yang kebetulan ikut
terlibat sebagai pemain musik. Nah, akhirnya dibelilah tiket pre order
pertunjukan ini. Cuma 15 ribu, ya ampun apa-apan ini, kalau dibandingkan dengan
pertunjukan lain di teater kelas nasional, saya sih sumrigah senang. Setelah
browsing karena kepo, saya masih belum bisa paham sebenarnya pertunjukan jenis
apa ini. Sebuah petunjuk didapat dari nara hubung untuk pre order tiket,
sebuah "konser musik" lebih tepatnya. Lalu berangkatlah saya seorang diri, ke
Taman Budaya.
Sumber foto: Dokumen Pribadi
Sesampainya di lokasi, para penonton undangan
dipersilahkan menunggu di luar. Gak ada yang saya kenal cuy, mereka semua
anak-anak manis yang membahas tugas kuliah maupun sekolah. Ternyata pertunjukan
ini disponsori oleh Yayasan Kelola (http://kelola.or.id browsing aje ye…). Undangan dipersilakan
masuk dan mendapat buku naskah. Lima belas menit lebih kurang, baru kami yang
menunggu dibiarkan masuk. Lama sekali saya tidak berkunjung ke tempat ini. Terakhir
ketika menonton monolog dengan seorang teman, dan penuh percaya diri saya
berujar, “Tahun depan, saya akan jadi peserta.” Tapi kilas balik itu hanya
berlangsung sebentar. Perhatian saya teralihkan pada instrument kaleng yang
tergantung di langit-langit lorong kanan dan kiri. Suaranya serak berteriak,
sayup sekilas bagai teriakan burung.
Sesaat sebelum dimulai pertunjukan, seorang
pembawa acara memberikan sekilas pengantar. Ternyata, pertunjukan ini diambil
dari sebuah mitologi lokal, kisah penciptaan dunia milik Dayak Iban. Saya
mengganguk-angguk mulai paham, padahal nyatanya saya baru dengar cerita itu
disini. Pertunjukan dimulai, takjub luar biasa, dan bersyukur lagi-lagi dapat
tempat duduk paling depan. Untuk musik, ternyata skill anak-anak muda
(mahasiswa pendidikan seni, FKIP, Untan) tidak diragukan lagi. Saya begitu
bangga melihat mereka yang rata-rata berusia 20-an ini punya skill yang luar
biasa. Jadi ingat, soundtrack
film-film Hollywood. Secara keseluruhan, pertunjukan ini hal baru bagi saya.
Saya sama sekali belum pernah melihat/mendengar secara langsung maupun rekaman,
seni musik kontemporer.
Sumber foto: dokumen pribadi
Latar belakang saya tidak mumpuni untuk
beropini, sama sekali tidak ada pengalaman teater. Akan tetapi, secara mudah
saya menggambarkan ini sebuah musikalisasi puisi. Myte yang awalnya berupa prosa lisan diadopsi menjadi puisi,
kemudian diolah dengan iringan musik modern dengan beberapa unsur yang
benar-benar baru. Untuk pembacaan saya juga begitu terkagum-kagum, karena
penyajian puisi ini benar-benar tidak monoton, tidak ada deklarasi
konvensional. Seorang narator wanita duduk dibilik plastik di latar panggung
dengan gaun putih, tetes air mengaliri biliknya. Tidak hanya bernarasi, wanita
itu juga bernyanyi dengan nada khas dayak. Pada bagian ini, saya benar-benar
bisa membayangkan diri saya berada di antara anak-anak bersila manis, mendengar
seorang kakek bercerita. Lalu dua orang lainnya merepresentatifkan Ara dan Iri,
sepasang burung surga yang ditugaskan membuat dunia oleh dewata. Bagian ini
juga apik sekali, ada bagian mereka begitu jatuh cinta pada awal penciptaan
dunia, lalu ada pertengkaran, ada kesepahaman dalam chemistry yang bagus. Tak kalah dengan yang lainnya, bagian kanan
dan kiri terdapat siluet penari yang turut membangun cerita. Semua ini
dikonduktori oleh Juan Aminardi.
Saya senang sekali bisa menonton, apalagi hanya
dengan harga begitu terjangkau. Rasa puas yang saya dapat, melebihi ketika
menonton teater dengan bintang-bintang papan atas Indonesia. Sayangnya,
pertunjukan ini tidak diproduksi dengan kualiatas managent kelas atas. Kalau
saja promosinya lebih professional, kursi-kursi di Taman Budaya ini pasti bisa
penuh. Yah begitulah, di ibu kota sana, gedung pertunjukan dan manajemen begitu
mumpuni. Padahal kualitas, masih dipertanyakan. Tapi kita di sini, perlu
bangga, bahwa kualitas karya bisa diakui. Apresiasi kearifan lokal, tidak hanya
sampai pada dongeng-dongeng di pemukiman dekat hutan. Tapi juga, di kota dan
dekat dengan anak-anak muda.
No comments:
Post a Comment