...
27 Febuari 1942
Marlena
Aku berharap dalam tugasku, ini semua akan membawaku kembali pada
pertemuanku dengan Lukman. Aku begitu bahagia melihat sosok itu di ambang
pintu, dan jika tidak menggingat adat kesopanan timur mungkin aku akan menghambur
ke dalam pelukkannya, berdiam selama mungkin. Hanya perasaan campur aduk yang
tak dapat kujelaskan jika menggingat pengalaman itu. Namun, semua hanya harapan
dan tak pernah terjadi.
Aku pulang dengan perasaan gembira
karena baru saja mengalahkan Neith dengan smash
tajam. Mungkin bukan itu yang membuatku merasa begitu senang sesungguhnya, tapi
percakapan ringannya dengan Qory. Gadis belanda itu merasa begitu sombong dan
memandang jijik pada pribumi. Padahal bangsa mereka telah menyiksa rakyat
hingga bertangiskan darah. Maka, setelah melihatnya terperosok beberapa kali
karena upayanya mengembalikan bola-bolaku, aku pulang dengan senyuman begitu
lebar. Namun, atmosfir rumah begitu jelas menampar saat Pak Darman membukakan
aku pintu. Maka, tak lama ayahku menghambur dengan wajah memerah, aku tau dia
sedang marah besar.
“Duduk!” perintahnya begiu kasar,
aku mengikutinya ke ruang tengah dan duduk di sofa panjang. Ibu juga duduk
disini, air mukanya begitu lirih, matanya berembun, apa yang terjadi? “Kau tau
Marlena, semua ini Ayah lakukan demi masa depan kita. Yang penting sekarang
ialah hanyalah keluarga kita ini. Untukmu....untuk ibumu....dan ini semua hanya
bisa dilakukan oleh pemerintah Belanda saat ini. Apa kau kira jika
tentara-tentara kampung miskin itu bisa membawa kemerdekaan yang
menyejahterakan kita seperti sekarang. Tidak Lena.... kita akan miskin.....”
aku mengerti pembicaraan ayah, telingaku menjadi meradang menerima semua ini.
“Vader
omong kosong..! aku merasa malu mempunyai orang tua yang bersedia menjilati
sepatu yang telah melumat rakyat kita.” Aku berdiri, marah .... dan tak akan
pernah diam lagi. Aku bahkan tak menyadari kapan ayahku mulai menggangkat
tangannya, sebuah tamparan kuat membuatku terperosok ke sofa.
“Kurang ajar kau, ini semua untuk mu
juga .... jika di luar sana, kau tidak akan pernah menikmati sekolah, kau tidak
akan pernah bersenang-senang dengan teman
noni-nonimu itu, kau akan menderita dipenjara atau bahkan dirodi.” Ibu
telah berdiri dan berusaha menenangkan Ayah. Telepon berdering, ayah kemudian
bicara dengan orang di seberang pesawat telepon, wajahnya terlihat semakin
kalut, garis-garis halus yang terpahat di wajahnya terlihat makin jelas. Pipiku
panas, namun jiwaku jauh lebih dari meradang, memanas, baru kali ini aku diperlakukan
kasar. “Berkemas...untung aku mengenal gebernur Stachhouwer, ia memaafkan kita
atas penghianatan Lena. Dia menggangap ini hanya sekedar ulah anak kemarin sore
yang minta perhatian, walaupun tidak sedikit kerugian pemerintah di Jogja.”
“Lalu untuk apa kita berkemas?”
No comments:
Post a Comment