Pipiku
panas, namun jiwaku jauh lebih dari meradang, memanas, baru kali ini aku
diperlakukan kasar. “Berkemas...untung aku mengenal gebernur Stachhouwer, ia
memaafkan kita atas penghianatan Lena. Dia menggangap ini hanya sekedar ulah
anak kemarin sore yang minta perhatian, walaupun tidak sedikit kerugian
pemerintah di Jogja.”
“Lalu untuk apa kita berkemas?”
“Jepang... mereka baru memenangkan
pertempuran laut, dan sekarang telah menduduki perbatasan Jawa timur dan barat,
evakuasi..., kita masih bisa ikut evakuasi, berdiam disini bukanlah tindakan
bijak. Aku dengar tindakan Jepang pada
Amerika dan juga negara-negara di pasifik, aku kira semua ini cuma kabar angin,
ternyata benar. Ayo Lena berkemas sejam lagi kita dijemput!” ayah mencengkram
tanganku kasar, untuk membantuku berdiri. Namun, saat keseimbangan telah
kudapat aku menepis tangannya. Pandangannya penuh tanya.
“Aku di sini, aku ini juga pribumi
yang selalu ayah sedot darahnya seperti yang lain. Aku bangga jadi pribumi, aku
akan tetap ada disini, untuk melihat kemerdekaan dirasakan semua rakyat, untuk
mendengar Indonesia Raya dikumandangkan.”
“Kamu sudah gila Lena... kau pikir
Jepang akan membantu Indonesia merdeka? Mereka itu cuma ingin menguras
Indonesia, pendudukan Jepang itu lebih kejam. Kau akan merasakannya nanti, dan
menyesal kenapa tidak patuh saja pada ayah.”
Hari itu aku melihat ibu begitu
menderita di antara persengketaan aku dan ayah. Aku ingin memeluk ibu sebelum
perpisahan kami, namun ayah tak pernah membiarkan. Sampai akhirnya tinggal aku
dan beberapa orang yang sering membantu pekerjaan rumah.
....
April 1943
Gelombang manusia laksana barisan semut yang akan hijrah ini membuat
keperihatinan Lukman makin menjadi. Kenapa kami terusir dari kota kami? Pikiran
itulah yang terus berputar di benaknya. Sebagian dari gerombolan ini adalah
tentara republik beserta keluarga dan sisanya ialah penduduk sipil yang tidak
mendapat transportasi atau mereka-mereka yang tetap optimis bahwa Jogja tidak
akan dikuasi musuh. Siang ini menjadi begitu kelam walaupun hari begitu panas.
Suasana mendung tidak hanya dikarenakan oleh asap-asap hitam akibat pertempuran
namun juga dari raut wajah para pengungsi yang begitu terluka berpisah dengan
sanak keluarga atau meninggalkan harta benda mereka di kota.
“Man... aku
dan Mono bikinin tandu ya..?” Pertanyaan Bahrun tersebut membuat Lukman
kembali menginjak bumi. Bahrun memperhatikan mimik kosong pada wajah Lukman, ia
tampak begitu syok dengan kekalahan atau apapun yang menjadi kekalutan dalam
pikirannya.
No comments:
Post a Comment