1939, Lukman
Siapapun
yang pernah bercakap-cakap dengannya pasti menyadari otak brilian yang dimiliki
Marlena. Siang itulah kesempatan pertama dan terakhirku bercakap dengannya di
sekolah kami. Aku juga merasakan letupan revolusi pada setiap pilihan diksi
tajam guna mengkritik pihak kolonial. Aku juga simpati pada gadis ini,
karenanya aku bersyukur dilahirkan sebagai anggota keluarga carik sederhana. Karena itu juga
noni-noni dan tuan-tuan muda di sekolah menyisihkanku dari pergaulan.
Aku
begitu terkejut karena melihat Marlena muncul di sini, seorang noni paling
populer muncul di tempat lusuh, tempat seorang siswa miskin menyendiri.
Sumber Gambar: http://www.reusableart.com/v/gardening/garden-04.jpg.html
“Sudah jangan hiraukan aku....
Lukman!” Itu kata-kata pertamanya pada ku kala itu, aku terperanjak sekaligus
kagum karena ia mengenaliku.”
Kepopulerannya karena kesupelan dan kecerdasannya begitu terpencar,
begitu juga kecantikkannya. “Aku kurang suka pada kediktatoran Lerares Furcsen tadi... politik balas
budi pastinya cuma kedok. Isi semua pelajaran di sini cuma doktrinisasi.” Itu
kata-kata selanjutnya yang ditujukannya padaku setelah kami berdiam diri selama
kurang lebih lima menit. Kami kemudian melakukan perdebatan yang semakin
memanas setiap menitnya. Kealotan begitu terasa dalam debat ini, aku begitu
bersikukuh untuk merebut kemerdekaan dengan kekuatan senjata. Dan sebaliknya
Marlena menggangap hal itu sebagai tindakan kurang cerdas yang hanya melibatkan
otot lalu hanya akan membawa perubahan dipermukaan saja. Aku agak tertarik
dengan teorinya bahwa kemerdekaan terjadi jika semua arus informasi dapat
diterima oleh semua lapisan rakyat. Ia mengutip teori dari seorang pakar
politik yang namanya begitu sullit untuk dilafalkan. “Informasi adalah
kebutuhan utama dan paling dasar yang sebenarnya dari suatu masyarakat.”
Begitulah simpulan akhirnya. Tapi tetap saja cara yang dipaparkannya tidaklah
efisien secara waktu.
“Kapan kita akan merdeka? Saat cucu
kita telah mempunyai cucu?” Aku menyanggah dengan begitu keras kepala.
Saat-saat pertama diskusi kami, aku sebenarnya sedikit merasa takut, ya karena
membagi pikiran kontroversi di wadah binaan kolonial serta dengan putri seorang
pejabat yang begitu terkenal dekat dengan Belanda. Pada awalnya kenekatan yang
melandasiku menuangkan segala pikiran, mungkin juga karena selama ini tak ada
wadah yang tepat untuk pelampiasan semua kekesalanku pada kolonial. Sampai
seorang gadis manis dan begitu cerdas muncul di hadapanku dengan kilatan mata
yang begitu nyalang. Uh... aku memang kagum padanya. Begitu kagum hingga tak mampu
menentukan posisi diriku, sebagai temankah, sebagai seorang pemujakah, atau
sebagai... laksana kaum papa yang mengadahkan tangan terbuka yang kosong, lalu
di isi dengan apa tangan itu, apa yang aku harapkan....
Tulisannya menarik...like...!! Mari silatruhami di blog saya juga ya : www.cahayapena.com
ReplyDeleteTerima kasih ^^
Delete