Flashfiction: YTH. BELIAU

 Suatu hal yang terjadi, seaneh apapun itu, seganjil apapun itu, terjadi tanpa suatu kesengajaan. Ada campur tangan Sang Maha Pencipta. Termasuk bermalamnya seorang pejabat struktural pusat di kediaman kami yang sederhana. Begitu ganjil sebenarnya. Kendaraan dinas rombongan katanya mengalami masalah. Alternatif penginapan juga sebenarnya begitu banyak. Aku masih begitu binggung. Beliau juga tidak terlalu mengenal saya. Saya juga tidak pernah merasa memberikan bantuan atau bekerja untuk beliau. Kami hanya bertemu sekali dalam rapat resmi. Saya memang pernah melakukan presentasi di depan beliau, itupun hanya beberapa menit berselang, sebelum Beliau menjabat di posisinya sekarang.
sumber gambar: http://www.reusableart.com

Namun, yang tidak ku suka adalah keikutsertaan 2 orang yang terkenal punya catatan tak baik dalam mengemban amanah. Seorang itu adalah anggota DPR RI yang kembali mencalonkan diri. Terkenal karena perilakunya yang rakus dan gemar berfoya-foya. Seorang lagi adalah kepala daerah yang sempat bersitengang dengan saya ketika masa tugasku di daerahnya. Punya sejarah hidup yang kelam, datang dari kalangan mafia kelas bawah, entah keberuntungan apa yang menyertainya sehingga bisa turut bermain di kalangan atas. Namun, perilakunya tetap setengik cucunguk.


Ibu menjadi tampak sibuk sementara saya masih gamang dalam pemikiran yang kelut.
“Dek Rima tolong ya… Kami cuma bermalam semalam, tidak akan merepotkan lebih. Bapak juga sudah makan malam di luar. Kalau bisa secangkir teh panas saja buat Bapak.” Kalau tidak menginggat kesopanan timur saya pasti sudah membanting pintu. Saya masih menyimpan emosi pada kasus yang belum genap terjadi setahun.
Mereka berbincang di teras depan. Rasa penasaran membuatku mencoba menguping. Ternyata Beliau masih bersaudara dengan si Tukang Foya. Mereka membicarakan satu proyek besar yang akan dilaksanakan di bawah naungan Beliau. Tanggapan Beliau membuat saya kaget. Sumpah! Seketika itu rasa kagum sirna terhadap Beliau. Saya sadar ternyata ada jurang begitu dalam, ada garis pemisah yang tegas, antara orang yang jujur dan yang berpura jujur.
“Kamu ini, tehnya dibikin dulu.” Ibu menegur, dengan berat hati saya beranjak ke dapur.        
            Teh sudah berada di nampan. Saya berusaha keras mengendalikan emosi. Ada segelut rupa-rupa perasaan. Namun, yang pasti saya rasakan adalah jijik. Di lain sisi, ada sedih yang turut harus diakui. Sedih karena Beliau tetap juga manusia yang punya cela. Beliau mengeluarkan senyum santun. Senyum yang begitu khas, penuh charisma. Senyum yang memancarkan ketampanan masa muda yang tetap juga masih bisa dilihat walaupun usianya sudah berkepala 4. Tanpa basa-basi saya lekas kembali ke dalam.
Setengah jam kemudian, seorang ajudan berpakaian lengkap memasuki halaman. Ia tampak melaporkan sesuatu. Saya yang mulai mengantuk memutuskan untuk masuk ke kamar. Mata ini baru akan terpejam ketika deru mobil menjauhi rumah kami. Terdengar Ibu yang melangkah mendekati kamar. Ibu mengetuk beberapa kali sebelum masuk menghampiriku. Ibu duduk di sudut ranjang, memegang lembut kakiku, saya lekas berbalik menghadapnya.

sumber gambar: http://www.reusableart.com

“Tamunya sudah pulang.”
“Untunglah bu, Rima dengar suara mobilnya.”
“Beliau titip salam sama kamu.” Saya mulai merasa keganjilan bertambah pada malam ini. “Bahkan beliau tadi melamar kamu.”
“Apa?” Sepertinya ada yang salah di telinga ini. Aku tergamang, perasaanku terbang entah kemana. Ibu tampak menguatkan diri. Seiring tarikan nafas yang dalam, ibu meneruskan.
“Ibu kira kamu dilamar untuk anak atau kerabatnya. Beliau melamar kamu untuk dirinya.” Ujar ibu begitu pelan dan hati-hati.
“Isterinya sehat walafiat lo bu.”
“Kamu diminta jadi isteri sirih.” Masyaallah, jantungku begitu sakit, pelipisku terasa berat. Namun, reaksi itu hanya terjadi beberapa saat. Semua terganti dengan darahku yang mendidih, menguap di ubun-ubun. “Beliau bersedia membiayai adik dan ayah,” ibu menambahkan.
“Ibu cerita apa? Ibu cerita ya!” Nadaku tinggi dipicu emosi. Ibu hanya menggeleng pelan, kemudian tertunduk dan meneteskan air mata. Aku berdiri dari ranjang. Hilir mudik berusaha mengumpulkan segala akal sehat, berusaha menemukan harga diri yang terinjak-injak. Apa-apan ini? Peristiwa kali ini harus disikapi seperti apa? Apa ini bentuk kasih Allah kepada kami? Apa ini bentuk ujian untuk mengukur kadar iman kami?
Aku berbalik, menemukan ibu yang menangis tanpa suara. Air matanya begitu deras, perasaanya tampak begitu sakit. Kami harus melewati malam ini dalam diam, agar ayah di kamar sebelah tidak semakin bimbang. Tubuh ibu terguncang begitu hebat. Kami mengakhiri malam dengan saling mendekap, berusah saling menguatkan.

No comments:

Post a Comment

Resensi Fortunately The Milk Karya Neil Gaiman

Buku cerita anak yang saya baca ini merupakan terbitan Gramedia pada tahun 2014. Karya Neil Gaiman yang diterbitkan pertama kali pada tahun ...