Saya jarang bisulan jadi tidak akan ada analogi terkait bisul untuk karya baru, setelah lamanya tidak menulis fiksi. Tidak juga merasa ditunggu oleh pengemar, saya murni menulis untuk latihan. Kegiatan ini sebagai upaya membebaskan kata-kata yang terus saja berputar-putar di dalam kepala. Selamat menikmati
...
“Pernah merasa hidup yang berjalan begitu
lambat? Hingga kau tak tahu harus berbuat apa. Solusinya hanya satu, kau ingin
waktu mati di situ dan tak bergerak sama sekali. Bahkan bukan sebuah ledakan
besar yang riuh, yang harus mengakhiri. Cukup senyap. Lenyap… lalu tak ada apa-apa lagi. Mungkin
dalam ketiadaan, kau baru bisa bernafas lega, lebih longgar. Aneh memang, apa
yang bisa didapat dari ketiadaan? Tak ada apapun di sana. Tapi manusia memang
datang tanpa apa-apa kan?” Laras mengakhiri narasi panjang dalam tempo yang
begitu lambat.
“Aku tak
mengerti jalan pikirmu tadi, bisa kau ulang?”
“Asem kamu…
capek tahu.”
Lalu ke dua insan yang awalnya asing itu
tertawa terbahak-bahak sambil menyandar pada dinding lift yang berasa makin
dingin. Laras kemudian melirik Mike yang tampak terpaku pada bayang-bayang yang
terpantul janggal pada cermin yang menutup dua sisi dinding lainnya.
Kejanggalan itu membawa ilusi yang asing, seolah-olah ada mereka dalam versi
yang begitu berbeda. Versi itu diawali dari bayang terdekat hingga paling jauh.
Mungkin mereka juga memiliki emosi masing-masing. Sebuah pemikiran gila. Begitu
Mike merasakan kalau Laras mengamati, cepat… Ia sampaikan lagi sebuah kelakar.
“Kita akan cepat menghabiskan oksigen.” Lalu
Laras tertawa semakin lepas.
“Paling tidak, mereka nanti tidak menemukan aku
yang kaku dengan muka cemberut.”
Ada
kegetiran dari tawa yang merespon kelakar terakhir tadi. Sudah hampir 4 jam
mereka terperangkap di sebuah lift yang macet. Seisi kota juga mungkin dilanda
panik karena gempa susulan terus terasa. Tak akan ada yang menyadari, bahwa di
sebuah gedung yang tengah dalam proses renovasi, terjebak 2 orang manusia.
Manusia-manusia dari antah berantah, yang sama sekali tak memiliki ikatan dengan kota tersebut.
“Masih
belum ada sinyal?”
“Iya, sama saja.” Laras mengecek bidang
persegi di kantong kemejanya.
Mike
kembali menarik nafas dalam. Merasa tolol
karena lupa mencarge telpon genggamnya. Juga bingung mencari topik lain.
Mereka hampir membicarakan semua hal 4 jam belakangan ini.
Mungkin
benar yang disampaikan Laras tadi, semua akan hilang begitu saja, dalam senyap.
No comments:
Post a Comment