Cerbung: Akhir Dibukan Akhir (4)

Pipiku panas, namun jiwaku jauh lebih dari meradang, memanas, baru kali ini aku diperlakukan kasar. “Berkemas...untung aku mengenal gebernur Stachhouwer, ia memaafkan kita atas penghianatan Lena. Dia menggangap ini hanya sekedar ulah anak kemarin sore yang minta perhatian, walaupun tidak sedikit kerugian pemerintah di Jogja.”
            “Lalu untuk apa kita berkemas?”

            “Jepang... mereka baru memenangkan pertempuran laut, dan sekarang telah menduduki perbatasan Jawa timur dan barat, evakuasi..., kita masih bisa ikut evakuasi, berdiam disini bukanlah tindakan bijak.  Aku dengar tindakan Jepang pada Amerika dan juga negara-negara di pasifik, aku kira semua ini cuma kabar angin, ternyata benar. Ayo Lena berkemas sejam lagi kita dijemput!” ayah mencengkram tanganku kasar, untuk membantuku berdiri. Namun, saat keseimbangan telah kudapat aku menepis tangannya. Pandangannya penuh tanya.


            “Aku di sini, aku ini juga pribumi yang selalu ayah sedot darahnya seperti yang lain. Aku bangga jadi pribumi, aku akan tetap ada disini, untuk melihat kemerdekaan dirasakan semua rakyat, untuk mendengar Indonesia Raya dikumandangkan.”
            “Kamu sudah gila Lena... kau pikir Jepang akan membantu Indonesia merdeka? Mereka itu cuma ingin menguras Indonesia, pendudukan Jepang itu lebih kejam. Kau akan merasakannya nanti, dan menyesal kenapa tidak patuh saja pada ayah.”
            Hari itu aku melihat ibu begitu menderita di antara persengketaan aku dan ayah. Aku ingin memeluk ibu sebelum perpisahan kami, namun ayah tak pernah membiarkan. Sampai akhirnya tinggal aku dan beberapa orang yang sering membantu pekerjaan rumah.

....
April 1943
Gelombang manusia laksana barisan semut yang akan hijrah ini membuat keperihatinan Lukman makin menjadi. Kenapa kami terusir dari kota kami? Pikiran itulah yang terus berputar di benaknya. Sebagian dari gerombolan ini adalah tentara republik beserta keluarga dan sisanya ialah penduduk sipil yang tidak mendapat transportasi atau mereka-mereka yang tetap optimis bahwa Jogja tidak akan dikuasi musuh. Siang ini menjadi begitu kelam walaupun hari begitu panas. Suasana mendung tidak hanya dikarenakan oleh asap-asap hitam akibat pertempuran namun juga dari raut wajah para pengungsi yang begitu terluka berpisah dengan sanak keluarga atau meninggalkan harta benda mereka di kota.
“Man... aku dan Mono bikinin tandu ya..?” Pertanyaan Bahrun tersebut membuat Lukman kembali menginjak bumi. Bahrun memperhatikan mimik kosong pada wajah Lukman, ia tampak begitu syok dengan kekalahan atau apapun yang menjadi kekalutan dalam pikirannya. 

No comments:

Post a Comment

Resensi Fortunately The Milk Karya Neil Gaiman

Buku cerita anak yang saya baca ini merupakan terbitan Gramedia pada tahun 2014. Karya Neil Gaiman yang diterbitkan pertama kali pada tahun ...