Sudah lama saya mencari-cari
roman Merantau Ke Deli karya Buya Hamka. Lalu, merasa puas ketika beberapa
minggu yang lalu, saya berhasil mendapatkannya di sebuah toko buku kecil di
kota sendiri. Terlebih pada bagian kata pengantar terdapat pengakuan sang buya
kalau beliau saat puas mengarang buku tersebut di bandingkan karya fiksi yang
lain. Maka mulailah saya membaca dengan semangat buku setebal 194 halaman
tersebut.
Saya sedih luar biasa,mengapa
harus senantiasa bernasib malang tokoh-tokoh ciptaan Buya Hamka. Saya masih
ingat ketika Zainudin tak dapat bersatu dengan kekasih hati di dalam Tengelamnya Kapal Van der Wijk, juga Hamid
dan Zainab di dalam Di Bawah Lindungan Kabah
yang turut juga tak bersatu. :’(
Terlebih lagi dalam Merantau Ke Deli, tokoh utama wanita bernama Poniem,
seorang rantau ke tanah Sumatera, yang terus saja mengalami kesengsaraan hidup.
Kisah ini bercerita tentang
kehidupan rumah tangga Poniem yang berasal dari Jawa dengan seorang pria
bernama Leman yang berasal dari Sumbar. Di awal pernikahan, mereka sama-sama
saling bahu-membahu tapi setelah 10 tahun kemudian rumah tangga bahagia itu mulai
retak. Konflik cerita dimulai ketika Leman menikah lagi dan tentu sebagai istri
tua, Poniem lama kelamaan mulai terbuang.
Di sini terlihat kelihaian Buya
Hamka memainkan kata-kata. Terlebih dibumbui apik dengan adat yang kental dari
tanah Sumatera. Pada cerita ini juga begitu lekat dengan pelajaran kehidupan
yang dapat diambil. Latar belakang keilmuan Buya membuat buku ini lebih dari
sekedar cerita fiksi, ia berharga untuk dijadikan penguat pribadi.
Yang saya sukai, nasib Poniem
tidaklah hancur sepanjang cerita. Ia dapat juga merengkuh kebahagian pada akhirnya. Tak menyesal saya membaca buku
ini. Buya Hamka memang pas dalam menulis cerita romantis. Terlebih dalam buku
ini tampak juga kepribadian suatu suku bangsa yang menjadi warna dari
Indonesia.
No comments:
Post a Comment