Siti mungkin sudah mengikuti perkuliahannya di Ausy, sedangkan Ajeng juga sudah mulai sibuk dengan tesisnya. Bahkan Dila kembali lagi ke almamater kami dengan gelar barunya, dosen termuda. Aku masih bisa mengingat wajah mereka ketika menulis surat lamaran. Wajah-wajah mereka yang mengeskspresikan pertanyaan-pertanyaan bahkan terbersit juga keraguan saat ku ceritakan niatan untuk kembali ke daerah, yang jaraknya beratus-ratus kilometer dari akses ibu kota provinsi. Bahkan ada kalanya, rekan-rekanku itu mengkonfrontasi begitu getol atas keputusanku, mereka begitu gigih membandingkan dengan yang mereka sebut sebagai realita kehidupan dan membuang diri ke pedalaman. Begitu halnya dengan orang-orang di sekitar yang tanpa basa-basi lagi menertawakan aku yang dianggap begitu naif. Begitu naif karena bagi mereka untuk hidup di zaman ini haruslah mengikuti standar komersialitas. Bahkan pada awalnya kedua orang tuaku begitu menentang, menggugat, dan arogan membanding-bandingkan dengan sahabat-sahabatku yang dianggap telah begitu sukses. Tentu ada juga rasa iri pada mereka, tapi ada perasaan yang tak terungkap untuk niatanku ini.
Hingga beberapa waktu telah kulewati dalam masa tugasku. Seolah menyiram semua kegundahan yang kian mendera selama ini. Aku mulai bisa tersenyum melihat semangat anak-anak dalam menuntut ilmu. Ada ketentraman ketika melihat kecerian mereka yang begitu antusias.
“Ayo giliran Nur sekarang, coba tuliskan hasil pekerjaanmu di papan tulis. Ayo maju saja, ndak apa-apa.” Siswaku itu tampak begitu malu-malu untuk beranjak dari tempat duduknya. Beberapa siswa yang duduk di sekitarnya tampak memberikan bisikan-bisikan motivasi. Aku tersenyum melihat reaksi Nur yang kembali tertunduk ketika bersitatap dengan wajahku.
Aku jadi teringat pertemuan sebelumnya dengan siswa-siswaku ini di koridor. Mereka menyapa hangat padaku disertai dengan sebuah pertanyaan spontan. Nur melontarkan pertanyaan itu tanpa basa-basi.
“Ibu ndak mau pindahkan?”
“Loh kok... kamu nanya seperti itu?,” jawabku dalam keterkejutan sambil berusaha memancing respon balik mereka.
“Ibu janganlah... kame’ suke belajar sama ibu. Jelas kalo ibu nerangkan. Masak macam guru laen. Baru gak sebentar dah pindah.” Ujar seorang di antara mereka.
“Bu udah.” Ujar Nur ketika telah kembali ke tempat duduknya. Ternyata ia sudah menyelesaikan tulisannya sementara aku melalang buana dengan pikirannku.
“Oh ya....,” komentarku untuk kemudian melihat pekerjaan di papan tulis. “Bagus... bagus... karena ini soal terakhir kita bahas saja ya sekarang...”
“Iya bu,” jawab anak-anak begitu bersemangat.
Beberapa waktu telah berlalu saat kami membahas hasil pekerjaan rumah. Di sela-sela keriuhan siswa yang mengutarakan pendapat, terdengar sayup-sayup suara yang begitu khas menggema di koridor dari kejauhan. Dentuman hak sepasang sepatu beradu dengan lantai papan, aku bisa membayangkan jelas jenis sepatu yang melekat pada kaki Bu Dewi. Dengan mendengar suaranya saja anak-anak bisa menjadi begitu tertib. Bukan karena sosoknya yang mencekam menebar teror ketakutan tapi para siswa begitu segan menghargai guru yang begitu simpatik itu. Dibandingkan denganku, Bu Dewi memang berpenampilan jauh lebih modis, sepatu yang ku kenakan saja bersol karet yang tingginya saja mungkin hanya 2 cm. Namun, sepatu ini begitu berguna terutama keberadaan sol karet peredam bunyi. Aku jadi dapat diam-diam mengintip ke kelas dan menangkap basah siswa bermasalah. Bahkan belum segenap setahun aku mengajar di SMK ini, aku sudah mendapat julukan keren dari siswa-siswa, Guru Si Langkah Hantu. Aku dan guru lainnya hanya bisa tertawa geli mendengar kreatifitas penamaan tersebut. Ada benarnya juga karena tanpa dikira-kira aku bisa muncul di depan kelas.
Begitu berbanding terbalik dengan langkah Bu Dewi. Namun, ada keganjalan dalam derapan langkah Bu Dewi yang semakin mendekat. Terdengar kepsek tersebut berlari-lari kecil dan terdengar juga beberapa langkah berat. Tak jauh dari kelas, terdengar kegaduhan. Beberapa kali terdengar teriakan. Dan disela-sela teriakan terdengar suara-suara yang berusaha menenangkan, di antaranya milik Bu Dewi.
Kegaduhan tersebut bergumul dengan bisik-bisik penasaran dari seluruh warga sekolah yang tampak berhambur dari ruangan mereka. Sekilas aku melihat bayang-bayanng mereka lewat celah pintu. Suasana di kelas juga menjadi terpancing. Konsentrasi mereka sudah pecah untuk kembali fokus pada pelajaran. Terang-terangan beberapa siswa berdiri di atas kursi mereka, beberapa yang lain hanya berdiri berupaya membuat leher mereka sepanjang mungkin agar dapat melihat dari jendela yang telah di buat lebih tinggi.
“Tenang-tenang, ayo kembali duduk,” aku berujar berusaha menenangkan para siswa. Semakin lama ternyata keributan tersebut mengarah pada kelasku. Baru pada saat itulah terdengar jelas dan lantang bunyi teriakan-teriakan tersebut.
“Nor....Nor..., mane kau ne! Tak gune kau sekolah!” spontan aku dan teman-temannya sekelas Nur memandang dengan keterkejutan. Keterkejutan di wajah ternyata lebih besar dibandingkkan kami semua. Wajah Nur telah menjelma seputih tepung. Seketika seolah-olah Nur menciut dari ukuran normalnya. Aku melihat ia begitu ringkih duduk pada kursi yang tiba-tiba membesar, disertai gigil ketakutan. Ia tampak memeluk erat buku-buku di dalam tasnya.
Persis waktu yang telah dikira pintu kelas akhirnya didobrak paksa. Tampak seorang pria yang kira-kira berusia 40-an dengan postur tegap dan sedikit buncit berdiri di sana. Sementara beberapa orang lainnya termasuk Bu Dewi tampak berusaha menenangkannya.
“Ada apa ini, Bapak?”
“Aah...., kau ni, pasti gaare-gare kau. Tengoklah kau ni, si Nor tu adeknye belonggok, ini kau suroh pula die sekolah. Tak ade duet jadinye aku.” Bapak tersebut berteriak selantang mungkin di depan wajahku.
“Iya...iya... tapi Bapak sabar dulu ya....” Belum sempat aku menyelesaikan kalimat tersebut dengan sekuat tenaganya pria tersebut mendorongku hingga terjungkur. Sebelum mendarat di kursi yang juga ikut terbanting ke lantai, aku mendengar teriakan dari orang-orang di sekitarku disertai Nur yang dengan suara bergetar memanggil bapaknya. Saat Bu Dewi membantuku untuk berdiri, ku menyaksikan Nur diseret ke luar oleh pria tersebut.
“Balek kau, noreh yak biar dapat duet.”
...
Nyeri juga walaupun mengolesi sendiri memar yang membekas setelah kejadian 3 hari yang lalu. Warnanya masih tak jauh berbeda hanya saja denyutan saja yang mulai berkurang. Aku sudah hendak mengistirahatkan badan setelah seharian namun tiba-tiba saja terdengar ketukan di pintu.
“Mantrinya di rumah sebelah.” Aku menjaawab demikian lantaran memang tak pernah mendapat tamu selarut ini. Biasanya juga pada jam-jam larut hanya ada warga yang mencari tenaga medis untuk kebutuhan darurat. Mungkin saja dugaanku itu salah karena terdengar ketukan yang berulang. “Siapa ya?” Tak ada jawaban untuk pertanyaanku itu, aku menjadi mengigil ketakutan. Takut sesuatu yang buruk akan terjadi, aku sudah bersiap kelur dari belakang untuk diam-diam mengetuk rumah bang Agus dari pintu belakangnya. Namun, sayup-sayup terdengar jawaban.
“Ini Nur bu...” Aku segera bergegas membukakan pintu dan menyuruhnya untuk masuk. Kami kini bersila di ruang serba guna yang kugunakan sebagai ruang tamu, ruang kerja, ruang makan,dan bahkan garasi. “Kame’ malu bu dengan perilaku bapak, kame’ minta maaf ye bu.”
“Kok kamu yang mesti minta maaf. Kamukan gak salah apa-apa.”
“Kame’ salah bu, bapak sebenarnya udah ngelarang sekolah, tapi tetap gak pegi sekolah.”
“Iya, ndak apa-apa.” Aku berujar sambil menepuk bahunya lembut. Nur tertunduk mendengar reaksiku itu. Ia mulai terisak.
“Kame’ malah bilang mau jadi guru sama bapak.” Nur kian meenjadi dalam tangisnya. Aku berusaha berpikir cepat, kasihan juga melihat seorang anak yang pupus kala mencapai cita-cita.
“Gini aja Nur, sambil nunggu hati bapakmu dingin. Kamu diam-diam saja ke sini belajar sama ibu ya.” Nur berbinar cerah mendengar penawaranku itu. Ia menganguk cepat. “Sekarang kamu pulang saja ya, nanti dimarahin lagi lo kalau kelamaan.” Aku mengantar Nur sampai ambang pintu. “Nur, kalau ibu boleh tahu. Kok Nur pengen jadi guru?” Tiba-tiba saja aku menjadi begitu penasaran.
“Sepatunye bagos, tu kayag sepatu ibu.” Nur berujar sambil menunjuk ke sepatu kulit coklatku yang tersandar di dinding tak jauh dari pintu. Ketika ku mengalihkan pandangan Nur telah berlalu dengan senyum kecil yang melekat pada wajahnya.
“Ada apaan seh, kok ada yang nangis segala tadi?” Ujar bang Agus yang hanya mngeluarkan kepala dari pintunya. Rumah dinas yang memiliki dinding menempel tak jarang membuat kami bisa saling mendengar sayup-sayup yang terjadi pada rumah sebelah.
“Sepatu kerjaku bagus ngak bang? Ujarku bertanya sambil menunjukkan sepatu bersol karet tersebut. Sedangkan orang yang ditanya malah mengeluarkan ekspresi bingung.
Sudah seminggu secara rutin Nur diam-diam belajar di rumahku. Tidak ada waktu yang pasti, hanya saja bekisar setelah aku pulang dari sekolah atau pun Nur yang selesai dari pekerjaan-pekerjaannya. Untuk lamanya pun, tidak ada kepastian adakalanya Nur hanya mampir menyerahkan tugas untuk ku koreksi ataupun mengambambil kembali tugas yang telah ku siapkan. Adakalanya juga, aku dapat menjelaskan beberapa materi yang tidak dimengerti olehnya. Hingga datanglah hari tersebut, seseorang berteriak memaki di depan rumahku. Aku mengenali suara tersebut sebagai pria yang datang mengamuk tempo hari di sekolah. Hatiku begitu meradang mendengar perkataan-perkataan tidak sopan dan menyakitkan hati itu. Begitu aku keluar, aku terkejut karena pria tersebut kali ini mengamuk dengan membawa senjata tajam. Ia terus mengayun-ayunkan parang ke arahku yang tentunya membuat hatiku begitu was-was. Ia terus berteriak marah saat orang-orang mulai ramai datang dan berusaha meraih lengannya.
“Bapak itu yang ngak waras, seharusnya bapak itu yang kerja. Ini bikin anak banyak buat dijadikan budak!” Aku sudah tidak tahan lagi dan menumpahkan segala amarahku yang selama ini terpendam. Tapi ternyata perkataanku itu malah memancing amarah yang lebih besar lagi. Ternyata pria tersebut mengayunkan parang ke arahku sementara para warga yang lain tidak dapat membendung tenaganya. Aku tersandar, dan untungnya dalam posisi tertunduk. Sehingga parang itu tertancap dalam pada tiang rumah. Ia tampak lebih murka malahan karena melesetnya sasarannya. Ia pasti akan menghajarku habis-habisan jika Bang Agus tidak datang. Aku sudah meringkuk ketakutan dan bersimbah air mata.. Beberapa saat ia berdiam diri saat diajak Bang Agus bicara, belakangan ku ketahui bahwa anaknya pernah dirawat oleh Bang Agus. Tak lama pria arogan tersebut melangkah pergi. Namun, ternyata kemudian ia melampiskan amarahnya pada sepeda motorku yang terparkir. Aku tak bakalan bisa berhenti menangis.
...
Setelah sehari menginap di rumah Bu Dewi untuk menenangkan diri, aku kembali pulang ke rumah dinas ditemani Bang Agus yang masih mengawatirkan diriku. Sebelum memasuki rumah, aku masih bisa menyaksikan sisa kejadian kemarin. Beberapa bekas onderdil motor dan tentunya celah yang berbekas pada tiang rumah. Ini semua tidak sebanding dengan hal-hal yang aku perjuangkan. Tak perlu waktu lama untukku berkemas dan tanpa berpamitan dengan siapa pun aku kini telah menunggu bus menuju ibu kota provinsi.
Aku terpaksa menunggu agak lama bus yang kian tak kunjung datang. Aku jadi ingat kembali bahwa di tempat ini lah kedatanganku untuk pertama kali. Aku masih ingat letak klinik bersalin yang tak jauh dari jalan raya ini. Tempat dimana aku melihat kurangnya tenaga medis yang tersedia membuat pasien dioper ke sana-sini. Hal itu juga, merelasikan ingatanku pada hari pertama saat ku mengajar. Saat perkenalan, beberapa siswa mengutarakan cita-citanya dan beberapa lainnya dengan santai menjawab bahwa cita-cita mereka belumlah terpikirkan. Satu di antara siswa tersebut ialah Nur.
“Ibu !” Nur berlari dari kejauhan berusaha mengejarku. “Ibu, jangan pergi ya... jangan cuma gara-gara Nur, ibu jadi ninggalkan sekolah. Kesian kawan yang laen.” Nur terisak lebih keras dari biasanya sambil menarik lengan bajuku. Aku hanya berdiam diri dan merogoh tas hendak mengambil sesuatu buat Nur.
“Nur, mungkin kita udah gak bisa berbuat apa-apa lagi dengan keadaan kamu. Tapi, tolong selalu ingat ya... kelak anak kamu tidak boleh bernasib sepertimu. Ini untuk kamu sebagai pengingat.” Aku mengunjukkan sepasang sepatu coklat pada Nur. Nur malah makin terisak keras tak peduli dengan keadaan di sekitarnya.
Bus berhenti, dan berlalu.
“Ibu!” Nur tak dapat berkata-kata lagi. “nanti ngajarnya pakai sepatu apa?”
“Kayagnya ibu perlu sepatu baru, masak pake kets ya.” Ujarku sambil melirik sepatu hijau yang ku kenakan.
Hingga beberapa waktu telah kulewati dalam masa tugasku. Seolah menyiram semua kegundahan yang kian mendera selama ini. Aku mulai bisa tersenyum melihat semangat anak-anak dalam menuntut ilmu. Ada ketentraman ketika melihat kecerian mereka yang begitu antusias.
“Ayo giliran Nur sekarang, coba tuliskan hasil pekerjaanmu di papan tulis. Ayo maju saja, ndak apa-apa.” Siswaku itu tampak begitu malu-malu untuk beranjak dari tempat duduknya. Beberapa siswa yang duduk di sekitarnya tampak memberikan bisikan-bisikan motivasi. Aku tersenyum melihat reaksi Nur yang kembali tertunduk ketika bersitatap dengan wajahku.
Aku jadi teringat pertemuan sebelumnya dengan siswa-siswaku ini di koridor. Mereka menyapa hangat padaku disertai dengan sebuah pertanyaan spontan. Nur melontarkan pertanyaan itu tanpa basa-basi.
“Ibu ndak mau pindahkan?”
“Loh kok... kamu nanya seperti itu?,” jawabku dalam keterkejutan sambil berusaha memancing respon balik mereka.
“Ibu janganlah... kame’ suke belajar sama ibu. Jelas kalo ibu nerangkan. Masak macam guru laen. Baru gak sebentar dah pindah.” Ujar seorang di antara mereka.
“Bu udah.” Ujar Nur ketika telah kembali ke tempat duduknya. Ternyata ia sudah menyelesaikan tulisannya sementara aku melalang buana dengan pikirannku.
“Oh ya....,” komentarku untuk kemudian melihat pekerjaan di papan tulis. “Bagus... bagus... karena ini soal terakhir kita bahas saja ya sekarang...”
“Iya bu,” jawab anak-anak begitu bersemangat.
Beberapa waktu telah berlalu saat kami membahas hasil pekerjaan rumah. Di sela-sela keriuhan siswa yang mengutarakan pendapat, terdengar sayup-sayup suara yang begitu khas menggema di koridor dari kejauhan. Dentuman hak sepasang sepatu beradu dengan lantai papan, aku bisa membayangkan jelas jenis sepatu yang melekat pada kaki Bu Dewi. Dengan mendengar suaranya saja anak-anak bisa menjadi begitu tertib. Bukan karena sosoknya yang mencekam menebar teror ketakutan tapi para siswa begitu segan menghargai guru yang begitu simpatik itu. Dibandingkan denganku, Bu Dewi memang berpenampilan jauh lebih modis, sepatu yang ku kenakan saja bersol karet yang tingginya saja mungkin hanya 2 cm. Namun, sepatu ini begitu berguna terutama keberadaan sol karet peredam bunyi. Aku jadi dapat diam-diam mengintip ke kelas dan menangkap basah siswa bermasalah. Bahkan belum segenap setahun aku mengajar di SMK ini, aku sudah mendapat julukan keren dari siswa-siswa, Guru Si Langkah Hantu. Aku dan guru lainnya hanya bisa tertawa geli mendengar kreatifitas penamaan tersebut. Ada benarnya juga karena tanpa dikira-kira aku bisa muncul di depan kelas.
Begitu berbanding terbalik dengan langkah Bu Dewi. Namun, ada keganjalan dalam derapan langkah Bu Dewi yang semakin mendekat. Terdengar kepsek tersebut berlari-lari kecil dan terdengar juga beberapa langkah berat. Tak jauh dari kelas, terdengar kegaduhan. Beberapa kali terdengar teriakan. Dan disela-sela teriakan terdengar suara-suara yang berusaha menenangkan, di antaranya milik Bu Dewi.
Kegaduhan tersebut bergumul dengan bisik-bisik penasaran dari seluruh warga sekolah yang tampak berhambur dari ruangan mereka. Sekilas aku melihat bayang-bayanng mereka lewat celah pintu. Suasana di kelas juga menjadi terpancing. Konsentrasi mereka sudah pecah untuk kembali fokus pada pelajaran. Terang-terangan beberapa siswa berdiri di atas kursi mereka, beberapa yang lain hanya berdiri berupaya membuat leher mereka sepanjang mungkin agar dapat melihat dari jendela yang telah di buat lebih tinggi.
“Tenang-tenang, ayo kembali duduk,” aku berujar berusaha menenangkan para siswa. Semakin lama ternyata keributan tersebut mengarah pada kelasku. Baru pada saat itulah terdengar jelas dan lantang bunyi teriakan-teriakan tersebut.
“Nor....Nor..., mane kau ne! Tak gune kau sekolah!” spontan aku dan teman-temannya sekelas Nur memandang dengan keterkejutan. Keterkejutan di wajah ternyata lebih besar dibandingkkan kami semua. Wajah Nur telah menjelma seputih tepung. Seketika seolah-olah Nur menciut dari ukuran normalnya. Aku melihat ia begitu ringkih duduk pada kursi yang tiba-tiba membesar, disertai gigil ketakutan. Ia tampak memeluk erat buku-buku di dalam tasnya.
Persis waktu yang telah dikira pintu kelas akhirnya didobrak paksa. Tampak seorang pria yang kira-kira berusia 40-an dengan postur tegap dan sedikit buncit berdiri di sana. Sementara beberapa orang lainnya termasuk Bu Dewi tampak berusaha menenangkannya.
“Ada apa ini, Bapak?”
“Aah...., kau ni, pasti gaare-gare kau. Tengoklah kau ni, si Nor tu adeknye belonggok, ini kau suroh pula die sekolah. Tak ade duet jadinye aku.” Bapak tersebut berteriak selantang mungkin di depan wajahku.
“Iya...iya... tapi Bapak sabar dulu ya....” Belum sempat aku menyelesaikan kalimat tersebut dengan sekuat tenaganya pria tersebut mendorongku hingga terjungkur. Sebelum mendarat di kursi yang juga ikut terbanting ke lantai, aku mendengar teriakan dari orang-orang di sekitarku disertai Nur yang dengan suara bergetar memanggil bapaknya. Saat Bu Dewi membantuku untuk berdiri, ku menyaksikan Nur diseret ke luar oleh pria tersebut.
“Balek kau, noreh yak biar dapat duet.”
...
Nyeri juga walaupun mengolesi sendiri memar yang membekas setelah kejadian 3 hari yang lalu. Warnanya masih tak jauh berbeda hanya saja denyutan saja yang mulai berkurang. Aku sudah hendak mengistirahatkan badan setelah seharian namun tiba-tiba saja terdengar ketukan di pintu.
“Mantrinya di rumah sebelah.” Aku menjaawab demikian lantaran memang tak pernah mendapat tamu selarut ini. Biasanya juga pada jam-jam larut hanya ada warga yang mencari tenaga medis untuk kebutuhan darurat. Mungkin saja dugaanku itu salah karena terdengar ketukan yang berulang. “Siapa ya?” Tak ada jawaban untuk pertanyaanku itu, aku menjadi mengigil ketakutan. Takut sesuatu yang buruk akan terjadi, aku sudah bersiap kelur dari belakang untuk diam-diam mengetuk rumah bang Agus dari pintu belakangnya. Namun, sayup-sayup terdengar jawaban.
“Ini Nur bu...” Aku segera bergegas membukakan pintu dan menyuruhnya untuk masuk. Kami kini bersila di ruang serba guna yang kugunakan sebagai ruang tamu, ruang kerja, ruang makan,dan bahkan garasi. “Kame’ malu bu dengan perilaku bapak, kame’ minta maaf ye bu.”
“Kok kamu yang mesti minta maaf. Kamukan gak salah apa-apa.”
“Kame’ salah bu, bapak sebenarnya udah ngelarang sekolah, tapi tetap gak pegi sekolah.”
“Iya, ndak apa-apa.” Aku berujar sambil menepuk bahunya lembut. Nur tertunduk mendengar reaksiku itu. Ia mulai terisak.
“Kame’ malah bilang mau jadi guru sama bapak.” Nur kian meenjadi dalam tangisnya. Aku berusaha berpikir cepat, kasihan juga melihat seorang anak yang pupus kala mencapai cita-cita.
“Gini aja Nur, sambil nunggu hati bapakmu dingin. Kamu diam-diam saja ke sini belajar sama ibu ya.” Nur berbinar cerah mendengar penawaranku itu. Ia menganguk cepat. “Sekarang kamu pulang saja ya, nanti dimarahin lagi lo kalau kelamaan.” Aku mengantar Nur sampai ambang pintu. “Nur, kalau ibu boleh tahu. Kok Nur pengen jadi guru?” Tiba-tiba saja aku menjadi begitu penasaran.
“Sepatunye bagos, tu kayag sepatu ibu.” Nur berujar sambil menunjuk ke sepatu kulit coklatku yang tersandar di dinding tak jauh dari pintu. Ketika ku mengalihkan pandangan Nur telah berlalu dengan senyum kecil yang melekat pada wajahnya.
“Ada apaan seh, kok ada yang nangis segala tadi?” Ujar bang Agus yang hanya mngeluarkan kepala dari pintunya. Rumah dinas yang memiliki dinding menempel tak jarang membuat kami bisa saling mendengar sayup-sayup yang terjadi pada rumah sebelah.
“Sepatu kerjaku bagus ngak bang? Ujarku bertanya sambil menunjukkan sepatu bersol karet tersebut. Sedangkan orang yang ditanya malah mengeluarkan ekspresi bingung.
Sudah seminggu secara rutin Nur diam-diam belajar di rumahku. Tidak ada waktu yang pasti, hanya saja bekisar setelah aku pulang dari sekolah atau pun Nur yang selesai dari pekerjaan-pekerjaannya. Untuk lamanya pun, tidak ada kepastian adakalanya Nur hanya mampir menyerahkan tugas untuk ku koreksi ataupun mengambambil kembali tugas yang telah ku siapkan. Adakalanya juga, aku dapat menjelaskan beberapa materi yang tidak dimengerti olehnya. Hingga datanglah hari tersebut, seseorang berteriak memaki di depan rumahku. Aku mengenali suara tersebut sebagai pria yang datang mengamuk tempo hari di sekolah. Hatiku begitu meradang mendengar perkataan-perkataan tidak sopan dan menyakitkan hati itu. Begitu aku keluar, aku terkejut karena pria tersebut kali ini mengamuk dengan membawa senjata tajam. Ia terus mengayun-ayunkan parang ke arahku yang tentunya membuat hatiku begitu was-was. Ia terus berteriak marah saat orang-orang mulai ramai datang dan berusaha meraih lengannya.
“Bapak itu yang ngak waras, seharusnya bapak itu yang kerja. Ini bikin anak banyak buat dijadikan budak!” Aku sudah tidak tahan lagi dan menumpahkan segala amarahku yang selama ini terpendam. Tapi ternyata perkataanku itu malah memancing amarah yang lebih besar lagi. Ternyata pria tersebut mengayunkan parang ke arahku sementara para warga yang lain tidak dapat membendung tenaganya. Aku tersandar, dan untungnya dalam posisi tertunduk. Sehingga parang itu tertancap dalam pada tiang rumah. Ia tampak lebih murka malahan karena melesetnya sasarannya. Ia pasti akan menghajarku habis-habisan jika Bang Agus tidak datang. Aku sudah meringkuk ketakutan dan bersimbah air mata.. Beberapa saat ia berdiam diri saat diajak Bang Agus bicara, belakangan ku ketahui bahwa anaknya pernah dirawat oleh Bang Agus. Tak lama pria arogan tersebut melangkah pergi. Namun, ternyata kemudian ia melampiskan amarahnya pada sepeda motorku yang terparkir. Aku tak bakalan bisa berhenti menangis.
...
Setelah sehari menginap di rumah Bu Dewi untuk menenangkan diri, aku kembali pulang ke rumah dinas ditemani Bang Agus yang masih mengawatirkan diriku. Sebelum memasuki rumah, aku masih bisa menyaksikan sisa kejadian kemarin. Beberapa bekas onderdil motor dan tentunya celah yang berbekas pada tiang rumah. Ini semua tidak sebanding dengan hal-hal yang aku perjuangkan. Tak perlu waktu lama untukku berkemas dan tanpa berpamitan dengan siapa pun aku kini telah menunggu bus menuju ibu kota provinsi.
Aku terpaksa menunggu agak lama bus yang kian tak kunjung datang. Aku jadi ingat kembali bahwa di tempat ini lah kedatanganku untuk pertama kali. Aku masih ingat letak klinik bersalin yang tak jauh dari jalan raya ini. Tempat dimana aku melihat kurangnya tenaga medis yang tersedia membuat pasien dioper ke sana-sini. Hal itu juga, merelasikan ingatanku pada hari pertama saat ku mengajar. Saat perkenalan, beberapa siswa mengutarakan cita-citanya dan beberapa lainnya dengan santai menjawab bahwa cita-cita mereka belumlah terpikirkan. Satu di antara siswa tersebut ialah Nur.
“Ibu !” Nur berlari dari kejauhan berusaha mengejarku. “Ibu, jangan pergi ya... jangan cuma gara-gara Nur, ibu jadi ninggalkan sekolah. Kesian kawan yang laen.” Nur terisak lebih keras dari biasanya sambil menarik lengan bajuku. Aku hanya berdiam diri dan merogoh tas hendak mengambil sesuatu buat Nur.
“Nur, mungkin kita udah gak bisa berbuat apa-apa lagi dengan keadaan kamu. Tapi, tolong selalu ingat ya... kelak anak kamu tidak boleh bernasib sepertimu. Ini untuk kamu sebagai pengingat.” Aku mengunjukkan sepasang sepatu coklat pada Nur. Nur malah makin terisak keras tak peduli dengan keadaan di sekitarnya.
Bus berhenti, dan berlalu.
“Ibu!” Nur tak dapat berkata-kata lagi. “nanti ngajarnya pakai sepatu apa?”
“Kayagnya ibu perlu sepatu baru, masak pake kets ya.” Ujarku sambil melirik sepatu hijau yang ku kenakan.
No comments:
Post a Comment