Manusia
digerakan oleh rasa penasaran, percaya gak? Tentu saja, makanya konten berita
tentang perkembangan terbaru seorang artis, jadi laris-manis. Penemuan-penemuan
juga didasari oleh penilitian intensif dilatari rasa penasaran. Masih banyak
lagi, hal-hal yang dilandasi penasaran. Seperti juga saya dengan sebuah buku. Terutama sebuah buku yang selalu saja disebutkan oleh beberapa dosen saat mata kuliah sastra,
Burung-Burung Manyar selalu jadi daftar atas perburuan di toko buku.
Sumber foto: Dokumen Pribadi
Setelah
bertahun-tahun, akhirnya saya ketemu dengan YB. Mangunjaya dengan Burung-Burung Manyarnya. Alhamdulillah
banget, buku yang pertama terbit pada tahun 1981 oleh Penerbit Djembatan kini
diterbitkan kembali. Terima kasih kepada penerbit buku Kompas karena tidak
hanya Burung-Burung Manyar tapi juga banyak
novel sastra jadul yang kembali diterbitkan. Akhirnya, kita pembaca jaman
sekarang bisa menikmati karya-karya bermakna dari masa lalu. Yahhh, tanpa
susah-susah lagi berburu ke tempat buku loak atau tertipu kualitas murah buku
KW.
Burung-Burung Manyar sendiri
sudah mendapat 2 kali penghargaan sastra bergengsi. Pertama penghargaan South East Asia Write Award (1984),
kedua Ramon Magsaysay Award (1996).
Tidak salah, ketika diterbitkan ulang, roman ini mampu dicetak berkali, hingga
saya mendapatkan cetakan keenam.
Membahas
si penulis, mungkin tidak akan mampu saya lakukan dalam 1 kali postingan.
Yahhhh, fokus saja dulu buat cerita tentang si Burung-Burung Manyar. Novel
ini bersetting pada rentang waktu yang tidak sebentar. Sehingga penulis membagi cerita ke dalam tiga
kurun latar waktu; bagian 1 (1934—1944), bagian 2 (1945—1950), dan bagian 3
(1968—1798). Teto sang tokoh utama merupakan anak seorang ayah Perwira KNIL
berdarah bangsawan Jawa dan ibu Belanda.
Cerita
menyajikan pergulatan pada masa-masa panas perjuangan Indonesia, dari sudut si
tokoh utama. Penyajian dari sudut lain ini merupakan daya tarik luar biasa dari
roman ini. Banyak novel yang menyampaikan view dari sisi si protagonist
terutama dengan tema-tema perjuangan. Sehingga Burung-Burung Manyar menjadi
pengayaan sudut pandang yang lain untuk tema sejenis. Tentunya harus sangat
arif membedakan fakta di dalam suatu karya fiksi, jangan sampai berbaur dengan
imajinasi atau opini si penulis.
Sumber foto: Dokumentasi Pribadi
Teto
mengalami 3 babak kehidupan, pertama saat kanak-kanak, masa bahagia bersama
keluarga, masa saat Belanda masih berkuasa di Indonesia. Kedua, masa remaja,
ketika Jepang mulai datang ke Indonesia. Dengan kepala keluarga yang merupakan
tentara Belanda, kehidupan keluarga Teto mulai porak-poranda. Keluarga mereka mulai tercerai-berai. Setelah
Indonesia meraih kemerdekaan ternyata Teto kembali ke Negara Ibunya, dan baru
kembali setelah mendapat tugas sebagai seorang eksekutif perusahaan besar. Pada
tiga fase ini, nampak perubahan karakter pada diri Teto yang akhirnya berubah
menjadi seorang protagonis yang memiliki nasionalisme tinggi. Semua ini,
dideskripsikan dengan peristiwa-peristiwa yang begitu apik. Yang jadi favorit
saya juga, karena tetap ada bumbu kisah percintaan. Cinta pertama yang tak
pernah pergi.
Banyak
lagi sebenarnya yang saya bisa ceritakan dari buku ini. Tapi akan lebih
menyenangkan dibaca langsung saja. Bagi yang suka dengan fiksi sejarah, roman
yang satu ini bakal jadi rekomendasi yang seru banget. Selamat membaca.
No comments:
Post a Comment