Saya yakin, semua juga
pernah mengalami yang namanya jatuh cinta dengan berbunga-bunga dan pada
akhirnya harus bertemu juga dengan malangnya patah hati. Saya ingat itulah awal
mula pengalaman ini. Saya skip bagian bunga-bunga itu bermekaran tapi kalau mau
ngebayangin, bayangin aja itu sakura yang mekar di sepanjang tepian sungai.
Akhirnya, semua mesti remuk redam tak beraturan, hingga saya memutuskan hal
aneh kala itu. Absurd luar biasa, saya gak cocok dengan manusia, manusia terlalu
komplek untuk memahami dan dipahami. Entah dari mana datangnya ide gila itu.
Maka, buku adalah sebuah pelarian yang begitu sempurna.
Sumber foto: www.123rf.com
Kebetulan, sebuah
perpustakaan baru, diresmikan di universitas kami. Beberapa tahun yang lalu,
saat semua masih berbentuk hitam-putih khas zamannya Charlie Caplin,
perpustakaan yang satu itu hadir dengan sesuatu yang segar luar biasa. Koleksi
khas dari benua America, dekorasi yang modern, keadaan yang luar biasa nyaman, terlebih
semua mebel berwarna putih, saya bagai menemukan sepotong surga yang jatuh ke
bumi. Apalagi, waktu itu, bisa dibilang sepi, jadi merasa nyaman bagai
perpustakaan pribadi.
Hampir setiap sore saya
datang. Biasa, mahasiswa semester akhir tanpa mata kuliah lagi, dengan beratnya
beban skripsi plus patah hati. Ingin menyepi dan ngadem di tempat yang tanpa
mengeluarkan biaya. Maklum di daerah kami, matahari bersinar dengan begitu
giat. Kebahagian saya terlengkapi dengan kumpulan cerita pendek dari
Hemmingway. Romansa yang begitu berbeda dari The Old Man and The Sea, sayang
lupa judulnya.
The Old Man and The Sea
bagi saya adalah sisi kelam dunia memancing. Bukannya saya alergi dengan tema
itu, tapi orang-orang terdekat yang selalu saja membagikan cerita seru saat
selesai menjalankan hobi tersebut berbanding terbalik dengan cerita pria tua di
perahu kecilnya. Selalu saja dimata mereka, ada hasrat petualangan yang
menggebu-gebu, tapi ketika itu diwujudkan dalam barisan kata novel, itu menjadi
rasa bosan yang akut. Makanya, saya jadi terkejut dengan kumpulan cerpen
romansa itu.
Sumber gambar: content.time.com
Hemmingway mampu turut
memainkan peran lain, selain pria tua membosankan. Ia muda lewat
tokoh-tokohnya, dinamis, manis; bahkan walaupun si tokoh tak bisa mendapatkan
kekasihnya. Ada kesegaran yang terasa melewati jiwa. Entahlah, rada susah
mendeskripsikannya. Anggap saja, kamu baru pulang ke rumah, dari tempat yang
tak terlalu jauh, tapi perjalannya kering dan panas. Lalu, di rumah tersedia
segelas es jeruk nipis manis. Sensasinya, adalah saat tenggorokanmu mulai basah
dilewati minuman itu. Ahaaa.... itulah yang paling tepat.
Hummmfff, sebuah nafas
berat dan panjang, kuhela saat cover buku tersebut kembali tertutup. Pandangan
ku lempar sejauh mungkin dari kata-kata yang berderet,berusaha untuk
menghilangkan lelah pada bola mata yang mulai menimbulkan pandangan yang
berbayang. Saat, sekelompok orang keluar dari kelas di perpustakaan. Dirinya,
satu-satunya hal menarik yang dapat dijadikan objek. Ku tak menyangka, ia juga
melepas pandangan yang sama. Bahkan, saat tak lagi bergabung dengan rombongan,
tatapannya masih untuk ku.
Tak sopan mungkin,
karena tak ada senyum terukir dibibirku untuk membalas. Aku masih keras
berpikir, kenapa seorang asing, bisa terasa begitu familiar. Untuk beberapa
detik, aku bahkan merasa yakin, dia akan melompat seketika untuk lebih dekat
selangkah padaku. Tapi, hal itu tak pernah terjadi. Aku berbelok ke arah rak
untuk mengembalikan buku. Sementara dia
akhirnya melanjutkan perjalanan ke arah pintu keluar, terasa kehilangan alasan
untuk tinggal.
Romansa sore itu, dari
Hemmingway dan si orang asing. Yup, saya sudah sembuh dengan seketika, siap
kembali menunggu bunga-bunga itu kembali mekar.
No comments:
Post a Comment