Apa itu Sastra?

Setidaknya, hal di atas merupakan pertanyaan abadi, ya layaknya pertanyaan telur dan ayam. Khalayak sampai sekarang pun masih berupaya untuk menjawab mana di antara ayam atau telur yang keberadaannya terlebih dahulu di dunia ini. Nah, berbagai teori juga tak habisnya silih berganti saling menyusul seputar ayam dan telur. Demikian halnya sastra, selalu saja di kelilingi aneka teori, tentunya dengan didasari oleh berbagai macam pertimbangan. Adakalnya, bahkan lebih sering teori-teori tersebut saling membantah diri mereka sendiri. Seringnya, bagai sebuah misteri alami di alam semesta, pengklasifikasian suatu karya fiksi prosa dijawab oleh berlangsungnya waktu.
Apa itu sastra? Pertanyaan yang tidak akan dapat saya lupakan karena merupakan tugas esai pertama saat menjadi mahasiswa. Begitu pula pernyataan pakar dalam sebuah buku teori bahwa “pendefinisian sastra akan terus berlanjut, tak pernah berhenti, dinamis.” Saya tentu masih ingat tekanan yang diterima dalam lingkungan kami, yang belum apa-apa saja sudah dibayangi oleh kekhawatiran tidak lulus mata kuliah. Juga, upaya saya dalam menulis esai dibantu mesin tik yang membuat jari-jari telunjuk begitu menderita. Maka, waktu yang berselang akan menjawab terdengar sebagai alasan kemalasan.
Semua orang, pasti memiliki kebebasan untuk menuangkan ide. Bagi saya, sastra terlalu dangkal penafsirannya jika dirunut dari pembentukan dan asal muasal kata tersebut. Terlalu naif juga apabila di pecah belah antara karya populer dan tidak populer. Terlalu picik malahan apabila ditinjau dari segmentasi pasar. Maka, sastra itu adalah kebebasan mutlak dari sang pembaca. Bukan kediktatoran penulis, paksaan penerbit, terlebih wewenang distributor –tak peduli kaliber besar maupun kecil—.
Bagi saya sastra, khususnya suatu karya sastra ialah stimulus yang baik untuk kembali mereproduksi karya. Ok, habis perkara dan titik!

Cerpen Sepatu Guru

Siti mungkin sudah mengikuti perkuliahannya di Ausy, sedangkan Ajeng juga sudah mulai sibuk dengan tesisnya. Bahkan Dila kembali lagi ke almamater kami dengan gelar barunya, dosen termuda. Aku masih bisa mengingat wajah mereka ketika menulis surat lamaran. Wajah-wajah mereka yang mengeskspresikan pertanyaan-pertanyaan bahkan terbersit juga keraguan saat ku ceritakan niatan untuk kembali ke daerah, yang jaraknya beratus-ratus kilometer dari akses ibu kota provinsi. Bahkan ada kalanya, rekan-rekanku itu mengkonfrontasi begitu getol atas keputusanku, mereka begitu gigih membandingkan dengan yang mereka sebut sebagai realita kehidupan dan membuang diri ke pedalaman. Begitu halnya dengan orang-orang di sekitar yang tanpa basa-basi lagi menertawakan aku yang dianggap begitu naif. Begitu naif karena bagi mereka untuk hidup di zaman ini haruslah mengikuti standar komersialitas. Bahkan pada awalnya kedua orang tuaku begitu menentang, menggugat, dan arogan membanding-bandingkan dengan sahabat-sahabatku yang dianggap telah begitu sukses. Tentu ada juga rasa iri pada mereka, tapi ada perasaan yang tak terungkap untuk niatanku ini.

Resensi Fortunately The Milk Karya Neil Gaiman

Buku cerita anak yang saya baca ini merupakan terbitan Gramedia pada tahun 2014. Karya Neil Gaiman yang diterbitkan pertama kali pada tahun ...