Resensi; Max Havelaar

Bisakah saya menikah dengan sebuah buku? Pertanyaan yang terdengar sangat lebay, hahaha, bahkan sampai ke tingkat dewa memang, tapi bisa kah? Ini mungkin ekspresi yang paling tepat ketika saya menemukan novel Max Havelarnya Multatuli. Sebuah kisah klasik yang tak akan pernah mati. Saya selalu suka yang klasik, klasik itu abadi. Lainnya karena deskripsi yang jauh lebih dalam, juga nilai moral yang terjaga. Membaca kisah klasik yang lain juga tak pernah membuat perasaan ini muncul, ya perasaan seperti jatuh cinta, sebuah perasaan “sangat mengemari”. Walaupun saya memang belum punya banyak pengalaman dalam membaca karya sastra klasik.


Between Passion and Patience

Antara hasrat dan kesabaran, begilah kira-kira terjemahan bebas yang sesuai dengan maksud saya. Awalnya saya menemukan sebuah postingan FB yang dishare, sebuah ketidaksengajaan sehingga bisa tercecer di wilayah saya J lupa identitas si penulis, yang pasti beliau mengaku sudah malang-melintang di dunia kepenulisan nonkonvensional. Deskripsi jelasnya beliau penulis lepas skala profesional yang biasa mengisi artikel online laman-laman tertentu. Singkat cerita, itu Bapak antara ngoceh dan curcol. Ada seorang teman beliau yang ngomong doang akan buka bisnis. 

Sumber foto: google.com

Akhirnya beliau jadi flashback tentang perjalanannya sendiri. Tentang berbagai tanggapan soal jalan melawan arus yang dipilihnya. Dan bagaimana pengaruh passion dapat mengantarkannya sampai pada titik sekarang. Kesuksesan yang dikejar dengan maraton 10 tahun. Curcolnya itu begitu menginspirasi.
Nah, saya setuju passion yang datang dari diri itu adalah motivasi yang utama. Jalan yang akan dilewati tidaklah selalu mudah, bahkan akan sangat membuat frustasi. Ikut arus yang sedang menjadi tren untuk kemudian latah dalam euforia tidak lah cukup.

Cerbung: Foto di Belakang Bus (3)

“Ini kawanku bang.” Seoarng wanita duduk dengan angun di kursi depan. Begitu pintu dibanting Saiful langsung menghilang dengan ajaib.

Kurang ajar, pasti ada yang tidak beres ini. Tapi berburuk sangka bisa menjadi penyesalan nantinya, apalagi jika terkait nyawa. Lebih kurang satu jam kami berkendara, Terkadang ada percakapan di antara saya dan si wanita. Kecurigaan pun semakin besar, melihat tingkah wanita di samping saya ini. Gesture dan isi pembicaraannya seolah-olah mengoda.

Sumber Foto: kompasiana.com

 Kami tepat di belakang bus, foto di belakang bus itu benar-benar mencuri perhatianku. Biasanya lukisan di belakang truk yang ‘nyeleneh’ mengundang tawa, beda dengan yang satu ini. Bus executive yang tampak lebih besar dari ukuran bus lainnya itu tentu punya bidang yang lebih luas di sisi luarnya untuk berekspresi. Kenapa tidak dipasang iklan saja? Foto rumah adat dan dua anak kecil yang saling merengkul pastinya tak menambah nilai estetis.. Lihat saja gaya si anak kecil kalah jauh dibanding model profesional. Hahaha.... Mas Aziz juga kalau disuruh bergaya untuk difoto pasti juga seperti itu, senyumnya nyengir memperlihatkan gigi-gigi tak ratanya. Belum lagi si kecil Nabila. Aku jadi hilang konsentrasi, tiba-tiba cahaya terang dari seberang datang menyilaukan.

Cerbung; Foto di Belakang Bus (2)

Pembicaraan yang menjurus itu mengundang gelak tawa, tiba-tiba saja meja kami bertambah ramai, 5 orang lain mulai mendekatkan kursi dan terlibat pembicaraan.
Obrolan sudah mulai kemana-mana, memanas. Topik yang meloncat-loncat, kadang persoalan politik, sampai urusan liar dan mesum. Anehnya, diantara topik yang terus bergulir, ujung-ujungnya akan kembali lagi ke persoalan itu. Semua tampak paling tertarik. Mungkin karena sedang jauh dari pasangan.
“Di mana itu? Anterin saya ya kalau kegiatan kita sudah selesai.” Pak pengusaha bertanya padaku.

Sumber foto: cupritmeow.wordpress.com

“Wah... Bapak salah orang, abang kite ni tak ada pengalaman yang begitu-begituan.” Tawa kembali pecah lagi, aku hanya menahan malu, bingung mau menggangap pernyataan temanku itu sebagai pujian atau sindiran, terasa juga panasnya wajah yang mungkin memerah. Asem banget ni pengusaha, ia tampak begitu terkejut. Kini ia malah memandangiku dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan begitu seksama, seperti kanak-kanak menatap fosil di ruang museum.
“Sudah berapa tahun menikah?” Pengusaha ini tampak begitu penasaran, wajahnya berganti dengan tampang sedikit sedih.
“Alhamdulillah sudah 15 tahun Pak.”
“Gak bosan kamu?” tanyanya ini membuat tawa lebih pecah lagi.
...

Cerbung: Foto di Belakang Bus (1)

Ini adalah jalan antarkabupaten yang panjang, lurus, kadang berkelok tapi yang pasti sepi. Butuh waktu ± 3 jam untuk sampai ke ibu kota provinsi. Keramaian yang terhampar selain areal perkebuann dan persawahan juga pasar-pasar kecamatan. Deretan pendek ruko-ruko minimalis dengan gaya arsitektur awal 80-an, ya memang kerena pembangunannya dalam kurun waktu itu, yang pasti sudah tutup menginjak waktu magrib. Satu-satunya sumber penerangan di jalan ini adalah kendaraan sendiri. Maka sebagai pengendara harus siaga penuh apalagi jika masuk ke jalan yang berkelok-kelok. Adakalanya jika bertemu kendaraan lain kami akan beriringan seperti konvoi dengan barisan rapi yang mengular. Tapi jika bertemu pengendara egois, saliban dan klakson panjang tak bisa dielekkan lagi, atau bahkan umpatan.

Pukul 10 lewat, aku kehilangan jejak dari rombongan yang berangkat selepas santap makan malam tadi.  Aku termasuk official lapangan yang mengurus rombongan kami. Tur sepeda ini sengaja disinergikan dengan event budaya di kota tujuan. Banyak pihak yang dilibatkan. Peserta untuk lomba sepeda ini cuma 25 orang yang terdiri atas beberapa atlit nasional dan daerah, teman-teman pengusaha dan artis, juga perwakilan NGO internasional dan kedutaan. Tapi, pendukung acara berjumlah 2 kali lipat, didominasi dari teman-teman media yang membantu publikasi. Saya begitu kagum dengan pertumbuhan media dalam kurun 10 tahun ini. Dulu mungkin cuma hanya ada satu-dua nama besar, tapi kini sungguh menjamur.

Cerbung: Pulanglah (3)

Ia mencari suaminya. Beliau mendapat beasiswa kedokteran di Jerman. Sudah setahun suaminya itu mengambil spesialis bedah. Baru setahun itu juga semua persiapan mulai matang untuk kepindahan si istri. Kontak terakhir, di saat ada waktu senggang libur, Suaminya ikut sebagai volunter saat virus ebola menjangkit di Afrika. Tak ada yang tahu kemana jejaknya, pihak kedutaan, pihak kepolisian, pihak kampus, pihak NGO yang turut berangkat ke Afrika. Maka, jalan terakhir ialah mencari sendiri.

Sumber Foto: gorongosa.org

“Ini fotonya, tolong bantu saya ya.” Ia menjulurkan sebuah foto padaku. Itu foto pernikahan mereka. Pasangan yang manis. “Saya tidak tahu apa yang tejadi dengannya, Afrika ini begitu banyak daerah konflik, resiko lainnya juga. Mungkin dia juga marah kepada saya karena kehilangan anak kami waktu saya mengandung. Kami telah saling berjanji, akan saya jaga pernikahan ini sampai ikhtiar penuh. Saya harus tau apa sebenarnya alasan dia menghilang.” Kubalik foto itu, ada sebuah puisi di sana. 

Cerbung: Pulanglah (2)

“Hahaha... kalian lucu, coba lihat ekspresi kalian.” Darwin tau kami kesal, kami bertemu dengannya sudah 2 hari yang lalu. Ia menjadi saksi, betapa banyaknya pikiran yang sama dengan pikiran Lucy. Mungkin juga dalam benaknya. “Kalian terllihat saling melengkapi loh.” Aksen Inggrisnya membuatku hanya menanggkap makna sederhana dari kalimatnya. Hah apanya???
Sumber Foto: http://www.sa-venues.com/

            Saling melengkapi dari Hongkong?!?!?! Aku mengerutu di dalam hati lagi. Ku perhatikan Cipto, kaos oblong, celana pendek di bawah lutut. Wajah dengan bulu-bulu halus yang tumbuh liar. Kontras ku rasa, untuk acara sesantai apapun aku tak pernah mengenakan kaos oblong. Bahkan kalau untuk tidur aku lebih memilih kaos berlengan panjang, sedangkan sehari-harinya aku lebih memilih kaos berkerah atau kemeja. Tiap pagi sekalut apa pun itu, aku tetap punya rutinitas mengosok gigi dan bercukur.  Aku juga begitu bingung kenapa kami bisa berteman selama ini. Satu fakultas pun tidak. Aku di fakultas ekonomi dan dia hukum. Kepalaku rasanya berdenyut. Ditambah lagi kawanku yang agak gila ini berusaha merangkul.

“Hahahaha... tenang, kami hanya bercanda kok.” Semua tawa pecah karena statement terakhir Darwin.    
***

Cerbung: Pulanglah (1)

Pulanglah..... Kan Ku Hidangkan Sepiring Cinta Untukmu


            Di Cape Town ini kami duduk mengelilingi api unggun. Kami mulai mempersiapkan untuk besok akan melanjutkan pendakian. Aku dan Cipto telah sepakat, besok akan bertemu seorang guide yang merupakan penduduk lokal. Rombongan ini terdiri atas Alex dan Lucy pasangan dari Inggris, dan Darwin seorang jurnalis dari Vietnam. Aku lupa menjelaskan, siapa sebenarnya itu ‘kami’. Kami adalah Aku dan Cipto, pemuda tanggung dari Indonesia. Kami begitu bangga mengendong tas punggung yang tingginya melebihi kepala untuk melakukan perjalanan pertama ke luar negeri, ke Afrika lagi coy.
Sumber foto: http://infokampsuy.com/

            Kami berdua memang sejoli, tentu saja dalam artian teman baik, tak ada yang spesial atau lebih. Semenjak semester awal, setiap menemukan jeda kuliah, kami langsung mengemas ransel untuk melakukan perjalanan. Tak jarang masa jeda itu kami buat sendiri, lumayanlah 2 s.d. 3 hari dari jadwal mata kuliah. Kebanyakan untuk menikmati pemandangan alam di Indonesia, dari gunung, pegunungan, danau, pedesaan sekali-kali kota wisata yang sarat budaya. Kami begitu ketagihan untuk terus berpetualang, menikmati keindahan alam dan bertemu orang-orang baru. Maka setelah 5 tahun berjibaku dengan diktat, buku, dan tugas, kami pun mempersiapkan perjalanan impian, AFRIKA.

Resensi Fortunately The Milk Karya Neil Gaiman

Buku cerita anak yang saya baca ini merupakan terbitan Gramedia pada tahun 2014. Karya Neil Gaiman yang diterbitkan pertama kali pada tahun ...