Lukman
terperosok cukup jauh tanpa bisa mengendalikan tarikan gravitasi terhadap
tubuhnya. Jadilah pendaratan yang begitu menyakitkan karena kepalanya beradu
dengan sebuah batu.
Sumber Gambar: www.satriamandala.com
“Keadaanmu bagaimana hari ini,
Letnan?” Lukman yang baru membuka maka merasa begitu terkejut karena takdir
mempertemukan mereka kembali. “Sudah-sudah, jangan bangun!” Perbincanganpun
terjadi, menggingatkan Marlena saat pertemuan mereka di Gunung Lawu. Bahrun
yang menculiknya karena panik menemukan satu-satunya dukun beranak di kampung
yang ujur dan sakit-sakitan, Mbah Giyem. Lebih memilih memikul dirinya dengan keadaan terikat mendaki gunung Lawu
di tengah malam. Kemudian darahnya yang mendesir, mendidih karena melihat
Lukman tak pernah melepas tangan istrinya yang menyejan sakit. Juga tangis Sri
yang membahana hutan karena bocah yang dilahirkannya meninggal. Kebersamaannya
tiga hari merawat Sri yang baru melahirkan juga kebersamaannya dalam
debat-debat panjang dan alot bersama Lukman, persis sewaktu mereka di MULO.
Usahanya mencuri pandang pada Lukman, dan kepuasannya saat ia membiarkan Lukman
menatapnya lekat-lekat, seperti kesengajaannya pada masa mereka bersekolah,
beberapa tahun yang lalu. “Bagaimana kabar Sri?”